Majapahit adalah sebuah kerajaan
yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun
1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi
kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa
kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut
Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, hingga Indonesia timur.
Pada cerita kali ini saya akan
menceritakan sedikit tentang perjalanan mengenang masa masa kejayaan Majapahit
menguasai nusantara dengan menulusuri peninggalannya yang banyak tersebar di
daerah Trowulan, Kota Mojokerto, Jawa Timur. Disini saya tidak akan membahas
secara detail mengenai sejarah berdiri maupun runtuhnya Kerajaan Majapahit
melainkan saya mencoba memberikan referensi berwisata sambil lebih mengenal
sejarah besar Majapahit.
Peta Sebaran Situs Trowulan
Perjalanan pertama kita akan
menuju Kota kecil Trowulan, kota yang hanya berjarak 15 menit perjalanan dari kampong
kelahiran saya Mojoagung. Trowulan adalah satu-satunya situs kota di Indonesia
yang luasnya mencapai 11 x 9 km 99 km² dan menyimpan ratusan ribu peninggalan arkeologis,
baik yang sudah ditemukan maupun yang masih terkubur. Berwisata ke tempat ini
bukan sekedar liburan, namun Anda juga bisa menapaki sejarah besar dari sebuah
kerajaan yang menjadi inspirasi Bangsa Indonesia tentang "Persatuan
Nusantara". Selain itu Anda akan mengetahui bagaimana tingkat peradaban di
Trowulan di masa Majapahit, mulai dari sistem pemerintahan, perdagangan,
hubungan luar negeri, teknologi, arsitektur, pertanian, hingga seni kerajinan.
Sesuai jalur perjalanan kali ini
kita akan mengunjungi :
1.
Maha Vihara Majapahit
Terletak di Desa Bejijong, Kec. Trowulan di ujung barat
Kota Mojokerto yang berbatasan dengan Kec. Mojoagung, Kab. Jombang, Maha Vihara
Majapahit yang berdiri di atas lahan sekitar 2 hektare ini, berada di kawasan
yang sejuk dan rindang karena dikelilingi bermacam pohon besar macam jati dan
sonokeling. Begitu juga tanaman buah tumbuh cukup subur seperti kelengkeng,
nangka, mangga dan rambutan. Sayangnya saat ini sedang tidak berbuah. Suasana
sejuk itu masih didukung oleh taman-taman yang terawat dengan berbagai jenis
tanaman bunga macam mawar, melati, puring dan bahkan teratai dan lainnya.
Gerbang Masuk
MahaVihara Majapahit ini selain biasa dipakai tempat
meditasi juga untuk wisata religi. Di lokasi ini sekarang juga sering dipakai
kegiatan para ormas, akademisi dan non agama Budha, baik untuk rapat dan
istirahat. Lokasi ini terbuka bagi masyarakat tanpa melihat status ekonomi,
agama dan ras. Pengunjungnya berasal dari dalam dan luar provinsi Jatim. Di
lokasi ini pengunjung dilarang membuat heboh. Suasana hening tetap berlaku di
kawasan ini. Pasalnya, biksu dan biksuni di Maha Vihara Majapahit sangat
menghargai ketenangan. Di dalam vihara ini terdapat Patung Budha Tidur Raksasa.
Budha Tidur
Arca Pentung
Tempat Sembahyang
Arca
Sudut Lain
2.
Sitinggil
Beranjak dari Vihara kami melanjutkan perjalanan ke
Sitinggil, hanya perlu memutar 10 menit dari Maha Vihara maka kita akan segera
sampai. Sitinggil sendiri berasal dari kata Siti = Tanah, Inggil = Tinggi, jika
disatukan menjadi tanah tinggi. Di tempat ini sekarang menjadi salah satu objek
wisata sebagai andalan kab. Mojokerto. Untuk menjangkau tempat ini tidak begitu
susah, karena letaknya relatif dekat dengan jalan raya Mojokerto-Jombang. Bisa
ditempuh dengan bis umum, kemudian dilanjutkan naik becak, atau jalan kaki pun
bisa.
Makam Raden Wijaya
Pemugaran Sitinggil
Sitinggil lebih dikenal sebagai sebuah makam, namun warga sekitar
meyakini bahwa yang dimakamkan bukanlah jasad dari Raden Wijaya, Raja pertama dari Majapahit, melainkan
hanya abu dari jenasahnya yang dibakar. Ada juga yang meyakini bahwa Sitinggil
hanya merupakan petilasan saja, sisa - sisa peninggalan kerajaan Majapahit.
Pendapat tersebut masuk akal karena pada pemerintahan raja pertama Majapahit,
kerajaan ini adalah penganut agama Buddha, sehingga jika penduduknya meninggal
maka akan diperabukan.
Sisi Lain
Sudut Lain Sitinggil
Nuansa teduh dan adem terasa saat begitu kita memasuki
komplek Sitinggil. Pohon pohon besar menghalangi sinar matahari yang terik
siang itu, membuat kita betah berlama lama di komplek ini. Ada satu bagian yang menarik untuk tidak
dilewatkan jika berkunjung ke tempat ini. Sebuah sumber air (lebih tepatnya
sumur kecil) yang selalu mengeluarkan air jernih yang bisa langsung kita minum.
Banyak pengunjung yang menyempatkan diri untuk minum dari sumber ini. Mereka
percaya air minum ini bisa membawa khasiat, paling tidak untuk kesehatan.
Sumber Air
Percaya atau tidak, ketika saya amati lebih cermat,
ternyata sumber air ini hanya berupa cekungan yang dalamnya hanya sekitar
kurang dari 1 meter saja. Dinding dalamnya terbuat dari batu dan tidak terlihat
adanya sumber air (bayangkan saja sebuah bak terbuat dari batu), namun air
terus saja terisi secara perlahan.
3.
Candi Brahu
Setelah mengunjungi Sitinggil perjalanan berlanjut ke Candi
Brahu, posisi ini juga tidak terlalu jauh hanya perlu waktu 15 menit berkendara maka kita akan menemui candi
megah di tengah tengah areal persawahan. Hamparan tumbuhan padi muda berwarna
hijau menjadi penyejuk mata kala itu. Masuk ke kawasan kita diwajibkan membeli
tiket sebesar 5 ribu. Memasuki areal candi, kesan pertama adalah bersih dan
taman taman yang tertata dengan indah dan di tengah areal menjulang tinggi
candi Brahu seakan gagah dan mengingatkan kita akan kebesaran Majapahit masa
lalu.
Candi Brahu
Kemegahan Majapahit seolah tak ada habisnya untuk
ditelusuri. Berbagai candi dan benda-benda pusaka hingga saat ini masih sering
ditemukan dan terus diteliti untuk dimaknai asal-usulnya. Mereka tersebar di
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang dahulu menjadi Ibukota Majapahit.
Salah satu candi peninggalan kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya itu
adalah Candi Brahu.
Seperti langgam candi-candi
lainnya di Jawa Timur, khususnya Trowulan, Candi Brahu terbuat dari bata merah
(direkatkan dengan teknik gosok) yang tampak menyala begitu terkena sinar
matahari langsung. Meski telah berlumut di banyak sisi serta bagian yang tak
utuh, namuan kekaguman terhadap tegaknya Candi Brahu yang menjulang ke arah
barat langsung terasa ketika kami berdiri di bawahnya.
Di Depan Kegagahan Candi
Sudut Lain
Tak ada motif ataupun relief
hiasan pada badan candi. Bagian atap berbentuk lingkaran dan tak lagi utuh.
Menurut dugaan, bagian yang hilang tersebut merupakan stupa. Artinya, candi
memiliki corak Buddha. Pada lempeng Prasasti Alasantan yang dikeluarkan oleh
Raja Mpu Sendok tahun 861 Ç atau 939 (abad ke-10 M) yang ditemukan tak jauh
dari lokasi candi berada, menyebutkan adanya sebuah bangunan suci bernama
Waharu atau Warahu yang kemudian mengalami perubahan pengucapan menjadi
“Brahu.” Penemuan prasasti tersebut membuktikan bahwa usia Candi Brahu menjadi
yang tertua di antara candi-candi lainnya di Trowulan. Candi tak hanya
berfungsi sebagai tempat pemujaan atau penyimpanan benda-benda pusaka, tetapi
pula menjadi tempat bagi pembakaran mayat ataupun penyimpanan abu jenazah.
Candi Brahu diduga kuat merupakan salah satu candi dengan fungsi sakral
tersebut.
Latar Candi Brahu
Di sekitar Candi Brahu,
diperkirakan masih terdapat candi-candi yang telah hilang ataupun belum
ditemukan. Pada kompleks candi, telah ditemukan berbagai benda-benda berharga
yang diperkirakan hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan atau kaum bangsawan.
Selain prasasti, terdapat arca-arca bersifat Buddha, serta benda-benda dari
emas dan perak yang sebagian tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
11 komentar
wisata sejarah, boleh juga utk nambah pengetahuan
ReplyDeleteTunggu Kelanjutan ceritanya :)
Deletewkt itu pernah liat foto yg budha tidur itu, dikirain di thailand ternyata di jatim ya..
ReplyDeleteYupp..15 menit dari kota kelahiranku cuitt
Deleteooogitu, disana ada apa aja? candi-candi?
ReplyDeletega ada museum kan? hahahaa
Penuh dengan museum.. #Ngakak
Deleteya gpp sh, yang penting depan museum nya ada tempat duduk.. saya ddk aja gitu disitu wkwkwkwkkw
ReplyDeleteketika saya traveling ke mojokerto, saya sempat mampir ke museum di trowulan, saya sangat terkejut dengan banyaknya prasasti yang bertuliskan arab, padahal 'katanya' majapahit beragama hindu, apakah mungkin sudah adanya kolaborasi budaya saat itu?..
ReplyDeleteHmmm...memang sangat menarik untuk mengikuti sejarah panjang dari Kerajaan Majapahit ini :)
DeleteEmang nggak bakat jadi peneliti, pusing baca nama-nama tempatnya
ReplyDeleteG usah dibaca, diliat aja gambarnya :)
Delete