Tana Toraja yang berarti tanah dari
para raja. Kekayaan budaya yang mereka miliki masih bertahan di tengah arus
perubahan kebudayaan yang menerjang. Kekayaan alam pun masih mereka jaga sesuai
dengan kodrat mereka mati adalah untuk kembali bersatu kepada alam. Tana Toraja
adalah sebuah impian kecilku, impian yang kini telah terwujud.
“Mbak tiket bus ke toraja untuk 2
orang masih ada ?”
“Masih ada mas untuk keberangkatan
jam 10 malam, kebetulan masih ada seat tapi paling belakang ya mas” dengan
logat khas makassar yang sangat kenta
“Gimana nih bro? Tempat duduk
paling belakang?”
“Sikaatttttt” pungkasku lebih
meyakinkan teman semasa SMA dulu yaitu si Arif.
Dan akhirnya ... tiket ke Tana
Toraja pun di tangan. Bayang bayang akan semua keindahan pun makin melintas
kesana kemari di dalam pikiran, impian bisa menjejakkan kaki di Toraja pun
sebentar lagi akan terwujud.
Kami menggunakan jasa bus Bintang
Prima, pool bis malam itu tampak ramai sekali. Para penumpang tampak duduk
berjajar sembari menunggu bis keberangkatan mereka. Bis bis pun tampak berjejer
dengan berbagai tujuan diantaranya ke Palopo, Toraja, dan Pare Pare. Apa mereka
ini semua wisatawan? Ternyata bukan. Mereka adalah para perantauan yang mencari
nafkah di Makassar dan berniat pulang ke kampung mereka, apalagi ini libur
panjang.
Kemewahan Khas Dari Bus Bus Sulawesi |
Bis bis di makassar tampak mewah
dengan berbagai macam corak seperti bis malam di pulau jawa pada umumnya. Tapi
begitu aku melangkahkan kaki kedalam badan bus, tampak kemewahan dan kenyamanan
yang lebih dibandingkan bis bis malam di pulau jawa. Seat dengan jarak yang
sangat lebar dipadu dengan seat jok yang sangat tebal. Wahh... bakal tidur
nyenyak semalaman nih pikirku.
Dan... benar saja begitu tepat
pukul 10 malam dan bus melaju aku merasakan kenyamanan dari bus ini. Excited,
karena ini pertama kali merasakan melaju di jalur pulau Sulawesi. Aku pun
tampak antusias melihat jalanan, tapi itu hanya sebentar karena kenyamanan bus
ini membuat mataku tak kuat untuk membuka lebih lama. Akhirnya akupun tertidur
sepanjang perjalanan ke Toraja.
8 jam waktu tempuh dari makassar ke
toraja, tapi percayalah waktu sepanjang itu tak akan terasa di dalam bis yang
nyaman seperti ini. Hingga teriakan sang kondektur bis membangunkan tidurku
“Makaleee...Makaleee”. Oh ternyata sudah hampir sampe makale dimana kota ini
merupakan ibukota tana toraja bagian selatan. Namun bukan disini tujuan akhir
kami melainkan kota Rantepao, dari semua referensi menganjurkan kita turun di
Rantepao saja karena fasilitas untuk wisatawan yang lebih banyak dan lebih
dekat untuk menuju destinasi utama di Tana Toraja.
Kota Rantepao |
“Rantepao... Rantepaooo” kondektur
kembali berteriak. Kami pun segera bersiap untuk turun walaupun dengan muka
bantal yang belum hilang. Begitu turun dari bis kami langsung disambut dengan
gerombolan tukang ojek dan bentor.
“Mau kemana mas? Ayo dengan saya
akan saya antar keliling toraja” kata dari sang tukang ojek. Tapi aku pun
menolak dengan halus rayuan mereka semua “kami sudah ada yang jemput pak,
terima kasih”. Aku dan arif pun langsung melenggang meninggalkan mereka sambil
membuka aplikasi Map di hape.
Tujuan kami adalah menuju Bagus
Tourist Information Center di Jalan Mongonsidi, tempat dimana kami akan menyewa
motor. Menurut Maps tak terlalu jauh untuk menuju kesana, okelah kalo begitu
kami akan berjalan kaki saja sembari pemanasan kaki setelah berdiam di atas bis
selama 8 jam. Dan benar saja hanya cukup 10 menit berjalan kami sampai di Bagus
TIC, disana kami langsung disambut dengan ibu ibu yang sangat ramah.
Bagus TIC berada tepat di kawasan
alun alun Rantepao. Disana kami menyewa satu buah motor matic dengan harga 100
ribu pemakaian sampai jam 5 sore namun jika lebih maka akan dikenakan biaya
tambahan 20 ribu perjam. Namun dengan nego kelas kakap akhirnya kami
mendapatkan 1 jam extra hingga jam 6 sore nanti, rejeki anak sholeh. Disini pun
kita bisa meminta informasi sebanyak banyaknya tentang toraja dan pasti akan
dijelaskan secara gamblang apa saja yang ada di Toraja. Kami pun diberikan
sebuah peta sederhana yang menunjukkan tempat tempat tujuan wisata.
“Mumpung masih pagi mending masnya
menuju Batutumonga terlebih dahulu, pemandangan disana bagus kalau masih pagi
mas” tutur ibu ibu di Bagus TIC. “Kete kesu dan lain lain mending siang hari
saja, apalagi disana sedang ada acara Toraja Internasional Festival” tutur ibu
ibu lebih lanjut.
Okelah, saran yang sangat tepat
menurutku. Udara pagi rantepao yang menusuk tulang membuatku tak betah kalau
hanya berdiam diri. Setelah mengisi penuh tangki motor dengan bahan bakar, arif
sebagai joki motor segera memacu menuju arah utara sesuai dengan petunjuk yang
ada di peta.
Jalur basah setelah gerimis turun
tadi pagi, bukit bukit yang mengelilingi rantepao pun masih berselimut kabut
tipis memaksa kami berdua mengigil di atas motor yang melaju. Di kiri kanan
akan sangat mudah kami menemui tongkonan khas Toraja. Sempat beberapa kali kami
berhenti takjub sambil melihat keindahan arsitektur tongkonan.
Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat Toraja. Terdiri dari tumpukan struktur kayu yang atapnya seperti tanduk dan dihiasi dengan ukiran serta warna merah danhitam. Kata “tongkon” berasal dari bahasa Toraja yang berarti tongkon “duduk” atau duduk bersama. Dan itulah salah satu fungsi Tongkonan, sebagai tempat untuk bermufakat.
Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat Toraja. Terdiri dari tumpukan struktur kayu yang atapnya seperti tanduk dan dihiasi dengan ukiran serta warna merah danhitam. Kata “tongkon” berasal dari bahasa Toraja yang berarti tongkon “duduk” atau duduk bersama. Dan itulah salah satu fungsi Tongkonan, sebagai tempat untuk bermufakat.
Menuju Batutumonga |
Motor kami pacu dengan kecepatan sedang mengikuti jalur berlika liku
dengan aspal yang cukup mulus. Udara dingin tetap menemani sepanjang
perjalanan, di beberapa sudut tampak lahan persawahan yang berundak undak
mengikuti kontur dari tanah yang memang berada di perbukitan. Sekilas persawahan
ini seperti yang ada di ubud bali namun dengan suasana yang berbeda, ini
suasana toraja bung. Di antara persawahan dan perbukitan pasti kita akan dengan
mudah menemui rumah tongkonan yang berdiri dengan cantik seanggun alam tana
toraja ini.
Sepanjang Perjalanan |
Di beberapa sudut jalan pun kami menemui masyarakat asli toraja sedang
menuntun kerbau, dengan sedikit raut yang agak kesusahan mereka tetap berusaha
menarik kerbau sebesar pick up yang tampak malas untuk berjalan itu. Namun itulah
harta terbesar mereka, kerbau kerbau ini bisa berharga sampai puluhan juta
rupiah bahkan untuk untuk kerbau bule yang berwarna putih bisa dihargai sampai
ratusan juta rupiah. Terbayang kan betapa berharganya kerbau di Tana Toraja
ini?
Kerbau Tedong |
Batutumonga
Ternyata menuju batutumonga ini lumayan jauh juga, atau mungkin kami yang
terlalu lambat memacu motor dan beberapa kali berhenti untuk berfoto ria di
perjalanan. Perjalanan selama 8 jam di bis serasa hilang tak berbekas setelah
melihat keindahan alam Tana Toraja, baru memulai perjalanan saja sudah seperti
ini apalagi nanti kita eksplore seluruhnya.
Batutumonga adalah suatu dataran tinggi di tanah Toraja tepatnya di
lereng gunung sesean, sebenarnya tidak ada yang istimewa disini namun saat ini
menjadi salah satu destinasi yang patut untuk kunjungi karena keindahan alam
yang ditawarkannya dan jika beruntung kita bisa menyaksikan awan yang ada di
bawah tempat kita berada, bagaikan negeri di atas awan.
Batutumonga |
Namun sayang saat itu kami mungkin sudah terlalu pagi atau mungkin juga
sedang suasana kemarau jadi awan tebal seakan menghilang dari langit pagi itu. Keseluruhan
kota Rantepao terlihat jauh di bawah sana yang menandakan kami sebenarnya
berada di tempat yang cukup tinggi. Melepas lelah dengan duduk di gazebo yang
ada kami menyeruput kopi yang mulai dingin karena suhu dataran tinggi sambil
menikmati semua sajian alam di batutumonga ini.
Setelah puas menikmati semua kami
harus segera kembali turun ke Rantepao untuk mengeksplore lebih jauh Tana Toraja
ini. Perjalanan turun ternyata lebih cepat karena jalanan yang terus turun dan
motor pun kami pacu tanpa henti mengikuti jalur yang berliku. Di tengah
perjalanan kami menemui sebuah plang bertuliskan Museum Na’ Gandeng, museum
seperti apa itu? Daripada penasaran kami akhirnya berbelok arah menuju museum
ini.
Museum Ne’ Gandeng
Dari jauh museum ini tampak jelas dengan beberapa tongkonan yang berjajar
rapi. Lokasi museum ini berada di tengah persawahan yang mulai menguning. Tampak
beberapa petani sedang memanen padi mereka. Perpaduan harmonis antara kegiatan
masyarakat setempat dengan latar belakang kekayaan budaya tana toraja.
Jejeran Tongkonan |
Setelah mengisi buku tamu dan membayar retribusi tiket sebesar 10 ribu
rupiah kita bisa menikmati keindahan budaya yang ada di museum ini. Menurut penuturan
sang penjaga loket pada mulanya tempat ini merupakan tempat pelaksanaan prosesi
kematian keluarga yang bernama Ne’ Gandeng pada tahun 1994 silam. Semasa hidup
Ne' Gandeng sangat memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar. "Bahkan Ne'
Gandeng usulkan listrik masuk desa dan biayanya dari menjual kerbau pribadinya.
Selain digunakan untuk keturunan keluarga Ne’ Gandeng tempat ini juga
bisa digunakan oleh warga toraja yang akan melakukan prosesi pemakaman serupa. Tempat
ini juga merupakan yang pertama di resmikan oleh pemerintah Toraja Utara
sebagai museum komplek prosesi pemakaman di tana toraja. Banyaknya rumah
Tongkonan di tempat ini bermaksud jika sedang ada prosesi pemakaman, tongkonan
ini bisa dipergunakan oleh keluarga atau tamu sebagai tempat menginap.
Aku dan Arif menyempatkan untuk
masuk ke salah satu Tongkonan tentunya dengan seizin pengelola terlebih dahulu.
Terdapat 3 lantai dalam tongkonan ini, dilantai yang pertama terdapat beberapa
contoh kulit kerbau yang diawetkan saat prosesi pemakaman dahulu kala. Naik kelantai
dua terdapat balkon luas untuk menikmati semua pemandangan yang ada, dan
mungkin ruangan ini yang biasa digunakan untuk tamu atau keluarga menginap saat
prosesi pemakaman karena ruangan yang cukup luas.
Naik kembali ke lantai 3
ruangan semakin menyempit dengan isi beberapa contoh patung. Tao tao nama dari
patung ini, merefleksikan orang toraj yang telah meninggal dan mereka membuat
tao tao ini untuk di tempatkan di pemakaman orang yang bersangkutan. Tao tao
dibuat semirip mungkin dengan aslinya oleh karena itu orang tana toraja juga
dikenal memiliki skill pahat yang sangat hebat.
Tao Tao |
Bersambung
5 komentar
Udah lama nggak ngopi sambil lihat pemandangan bagus :(
ReplyDeleteJadi selama ini ngopi sambil liat apa? :D
Deleteperpaduan alam dan kebudayaan mantep banget ya tana toraja
ReplyDeleteIya mas, juara banget deh Tana Toraja ini :D
DeleteGoodd read
ReplyDelete