Siang itu tampak kota Rantepao sangat cerah, awan hitam yang menaungi kota kecil ini tadi pagi telah hilang entah kemana. Panas terik namun dengan cuaca yang sejuk itulah ciri khas kota rantepao yang memang berada di ketinggian. Gunung Sesean dimana terdapat batutumonga bertengger di badannya kini menampakkan wujudnya di kejauhan. Begitu juga bukit bukit lain yang mengililingi kota Rantepao seakan berlomba lomba untuk menampakkan keindahannya. Cuaca panas seperti ini pun semakin membakar semangat kami untuk menjelajah lebih jauh keindahan di Tana Toraja.
Melihat selembar peta yang mulai
lusut kami berencana untuk mengunjungi tempat pemakaman adat paling terkenal di
Tana Toraja yaitu Kete Kesu, Londa, dan Lemo.Karena memang juga tempat wisata
ini satu arah dan berada tidak jauh dari jalan poros Makale – Rantepao. Tapi tujuan
itu kami balik, Kami ambil jarak paling jauh terlebih dahulu karena untuk
efisiensi tenaga juga untuk mengatur waktu yang pas, karena apa? Karena di Kete
Kesu akan diselenggarakan Toraja International Festival pada sore harinya dan
kami akan sangat penasaran dengan festival tersebut.
Jalur poros Makale – Rantepao kami
lalui untuk kedua kalinya karena tadi pagi tadi bis yang kami tumpangi juga
pasti melewati jalan ini. Namun ada yang berbeda, pagi tadi jalanan tampak
gelap, berkabut serta diselingi gerimis tapi siang ini matahari telah
melenyapkan semua itu. Kali ini yang ada hanya panas, kami harus menggunakan
jaket, dan masker saat berkendara karena untuk menghindari debu dan sengatan
sinar matahari. Jalanan pun tampak lebih hidup dengan lalu lalang kendaraan
yang cukup ramai di jalur yang berkelak kelok ini. Kami pacu motor dengan
kecepatan sedang sambil menikmati suasana sekitar.
Lemo
Tujuan kami siang itu adalah Lemo, situs
pemakaman adat pertama yang akan kami kunjungi. Berbekal peta lusut ini pun
kami memacu kendaraan hingga menemui plang kecil di kiri jalan yang bertuliskan
“Lemo”. Harus hati hati dan jangan terlalu cepat memacu kendaraan agar tak belokan
ini tak terlewat, karena plang tulisan ini sedikit agak kecil.
Jalur pun berubah dari semula aspal
mulus menjadi aspal yang sudah mengelupas menjadi kerikil batu batuan. “tempat
wisata yang terkenal sampai mancanegara masak jalannya seperti ini?” pikirku...
Penunjuk arah juga kurang jelas. Berdecit decit motor yang kami tunggangi melewati
jalanan menuju lemo. Semua ini tak menyurutkan kami untuk terus melaju namun
dalam hati aku pun ingin pemerintah Kabupaten Tana Toraja lebih memperhatikan
hal kecil seperti ini agar pariwisata di Tana Toraja makin maju.
Kamipun akhirnya tiba di pelataran
Lemo, tampak hanya 1 mobil dan beberapa sepeda motor yang ada di parkiran kala
itu. “Sepi sekali pikirku” apa ini bukan musim liburan yaa.. hahaha. Tapi justru
ini yang mengasikan karena kita bisa lebih nyaman untuk menikmati suatu
destinasi wisata tanpa terganggu dengan tingkah polah wisatawan lain. Tapi ini
wisata kuburan bosss, yakali kita sendirian di dalamnya? Bisa malah uji nyali
jadinya. Tapi tak usah takut karena ini siang hari dan nanti kita pasti bisa
foto foto sepuasnya. Motivasi yang setidaknya sedikit menghilangkan rasa takut.
Dan dengan membayar tiket sebesar 10 ribu per orang yang sudah include dapat menggunakan
toilet sepuasnya tanpa tambahan, hehe.
Situs Pemakaman Lemo |
Menyusuri setapak tangga yang
menurun dari kejauhan sudah tampak ciri khas dari situs Lemo ini yaitu tempat
pemakaman khas Toraja yang berada di dinding tebing yang menjulang tinggi. Aura
kematian tiba tiba hadir berpadu dengan harmanoni alam perbukitan, Sungguh eksotis.
Lemo yang berarti jeruk, nama ini
diambil dari sebuah tebing berbatu paling besar disana yang menyerupai sebuah pori
pori kulit jeruk raksasa. Dan pada mulanya di Lemo ini hanya para bangsawan suku
Toraja yang boleh dimakamkan dan di depan lubang akan di tempatkan Tao Tao atau
boneka yang mempresensikan keadaan mereka sebelum meninggal dunia.
Melangkah mendekat tampak karangan
bunga tersebar di bawah tebing pemakaman yang menandakan beberapa hari lalu ada
seseorang yang baru dimakamkan disini. Aroma kematian semakin menyeruak dan
memberikan pertanda jika kami yang mengunjungi makam ini akan bernasib sama
dengan mereka yaitu berjumpa dengan kematian.
Walaupun aura kematian di tempat
ini semakin besar namun tak ada aura menyeramkan yang ditampilkan hanyalah
betapa kaya budaya di Tana Toraja ini. Melihat tebing tinggi dengan lubang
lubang makam yang tampa anggun dengan Tao Tao nya aku pun terkesima. Bagaimana cara
mereka memahat batu cadas seperti ini? Dan Bagaimana pula cara mereka membawa
jasad sampai di puncak tebing sana?
Tao tao pun menambah semarak situs
pemakaman di Lemo ini. Jika diperhatikan Tao Tao ini mempunyai pose yang sama
yaitu dengan tangan kanan mengadah keatas sedangkan tangan kiri menghadap
kebawah. Ada filosofi di balik ini yaitu Hal itu memiliki arti meminta dan
memberkati, posisi tangan tersebut mencerminkan posisi antara yang hidup dan
yang mati. Manusia yang telah meninggal membutuhkan bantuan keturunannya yang
masih hidup untuk mencapai surga melalui upacara adat yang bisa menghabiskan
hingga milyaran rupiah, sedangkan yang hidup mengharapkan berkah dari yang mati
untuk tetap menyertai kehidupan anak cucu mereka.
Tao Tao |
Dari tebing cadas ini cobalah
berjalan ke arah kiri. Meskipun jalurnya nampak kurang terawat dan berupa jalur
tanah sempit diantara ilalang kalian akan menemukan sisi lain dari situs Lemo. Tebing
tinggi masih menghiasi namun dengan keadaan lubang pemakaman yang lebih tua
dari yang pertama tadi. Hal ini dapat kita lihat dari penampakan lubang itu
sendiri. Kayu kayu penutupnya sudah sangat lapuk dimakan waktu tumbuhan sekitar
juga berkembang liar dan bahkan di beberapa lubang tampak tulang belulang yang
muncul dan berjatuhan.
Tampak Tulang Keluar Dari Lubang Pemakaman |
Menurut penuturan sang penjaga
lubang pemakaman di lemo ini berukuran 3 x 5 meter yang bisa berisikan satu
keluarga. Lubang lubang dibuat dengan cara dipahat dengan waktu berminggu
minggu bahkan berbulan bulan. Posisi setiap lubang juga disesuaikan dengan
garis keturunan dan derajat dari masing masing orang. Semakin tinggi lubang
maka semakin tinggi pula derajat mereka.
Wingit itu yang bisa aku gambarkan,
apalagi dengan hanya kita pengunjung satu satunya. Bahkan si Arif sempat tak
mau berjalan lebih jauh dan memilih untuk kembali ketika melihat sebuah tulang
rahang teronggok di sebuah batu. Bagiku ini bukan sebuah ketakutan yang
dihadapi tapi sebuah pengalaman yang harus dinikmati. Rahang ini bisa menjadi
sebuah objek foto yang menarik, boleh kita memotret apapun yang ada di Lemo
namun jangan asal asalan karena kita juga harus menghormati mereka yang sudah
tiada di tempat ini.
Sisi Lain Dari Lemo |
Cerita Sebelumnya
Cerita Selanjutnya
0 komentar