Di dalam kegelapan diantara warung warung yang sudah tutup ini aku duduk terdiam termangu. Waktu di jam tanganku menunjukkan tepat pukul 03.00 WITA. Perasaan bingung menyelimutiku di penghujung malam. Entah bagaimana aku bisa sampai sejauh ini berjalan sendiri, namun yang pasti keinginan untuk tetap melanjutkan tujuan adalah keinginanku yang harus terwujud pagi ini.
Aku seorang diri disini, di pulau Bali tepatnya di Pura Jati Luhur Kintamani
yang berselimut kabut. Mungkin kalian bertanya tanya, sedang apa aku di penghujung
malam yang gelap dan berada di sebuah pura?
Gunung Batur, yaa inilah tujuanku hari ini. Dan baru kali ini aku akan
pergi mendaki gunung diselimuti kebingungan seperti ini. Bukan karena
membayangkan jalur yang menanjak, atau berjalan seorang diri namun lebih
terhadap peraturan yang di tetapkan disini.
Perlu kalian tahu, Gunung Batur ini merupakan sebuah kawasan wisata yang
berada di Geopark pertama di Indonesia. Dan untuk melakukan trekking menuju
puncak batur kita wajib menggunakan guide dan peraturan ini tertulis secara
nyata di depan tempat aku duduk.
Dan bisa dibayangkan jika aku seorang diri menyewa seorang guide, bisa
dipastikan pengeluaran akan semakin membengkak apalagi jika menjadi gembel
ulung seperti aku ini. Bisa dikatakan kemanan pun pergi harus bisa mengeluarkan
biaya sesedikit mungkin.
Aku memutar otak mencari cara bagaimana agar pagi ini aku bisa lolos dari
gerbang masuk di Pura Jati Luhur ini, dan aku duduk di kegelapan adalah caraku
untuk tak terlihat dari sekumpulan guide yang menunggu para tamu yang
berkeinginan untuk trekking ke Gunung Batur.
Tiba tiba ada seorang lelaki muda duduk tepat disebelahku dan menyalakan
rokok yang dibawanya. Iseng pun aku coba memulai obrolan dengannya,
“Sedang menunggu tamu kah mas?, Mau ngantar ke atas juga” tanyaku pada
seorang lelaki muda yang aku yakin pasti seorang guide dari penduduk sekitar.
“Enggak mas, saya sedang malas tapi biasanya memang sering mengantar
tamu” sahut sang lelaki muda ini. “Masnya dari mana? Mau naik gunung batur
juga?”
“Iya mas, saya masih menunggu teman..tadi katanya mau ketemuan disini,
tapi ini saya tunggu kok enggak datang datang”, timpalku sedikit berbohong jika
saat itu aku sedang sendiri saja.
Dan seiring kemudian obrolan kami pun semakin berlanjut. Mulai dari
pertanyaanku bagaimana jalur menuju keatas hingga suka duka dia menjadi guide
gunung batur ini, hingga aku berkata seperti ini
“Mas jika aku berjalan sendiri dan mengikuti para bule itu dari belakang
apakah bisa ya?”.
Sang guide muda ini pun berkata “Silahkan saja mas, ikuti mereka diam
diam dari belakang atau berbaur saja langsung”, pasti tidak ada yang mengetahui
dan melarang.
Seakan mendapat lampu hijau dari salah satu guide baik hati ini, semangat
pun langsung berkobar. Demi mengejar matahari terbit aku pun segera berpamitan
kepada guide muda yang belum sempat aku tanya namanya ini.
Mengikuti sekumpulan bule dengan para guide di depannya ini aku pun
membuntuti mereka. Di dalam kegelapan ini aku mencoba menyalakan senter dan
berjalan seirama dengan langkah cepat mereka.
Jalan masih terasa datar yang berada di tengah perkebunan. Ayunan langkah
para bule ini memang terkesan panjang dan cepat, dan aku semakin kewalahan
mengikuti langkah langkah mereka. Hingga akhirnya aku terhenti di sebuah tanah
lapang di tengah bebatuan vulkanis, gerombolan bule yang aku ikuti tadi pun
meninggalkanku seorang diri.
Nafas tersengal sengal, degup jantung pun terasa berpacu lebih cepat dari
biasanya. Aku coba menenangkan ritme nafas terlebih dahulu sebelum melanjutkan
perjalanan. Dari tempatku berhenti ini jalur nampak jelas, apalagi dengan
kerlipan senter para bule yang berjalan di kejauhan membuat navigasi perjalanan
semakin mudah.
Sekitar 45 menit berjalan aku bertemu dengan plang bertulisakan POS 1,
dan disebelahnya terdapat arah panah yang menunjukkan jalur menuju puncak
Gunung Batur. Aku mencoba menerawang kontur jalur yang ada di depan, kilatan
lampu senter pun membiaskan bayangan jalur miring yang harus aku lalui sebentar
lagi.
Jalur berkerikil bercampur pasir dengan kemiringan sekitar 45 derajat
adalah gambaran kecil jalur yang harus dilalui. Dengan berjalan perlahan dan
mengatur ritme nafas aku coba untuk melangkahkan kaki kembali.
Namun apa daya tubuh yang jarang diajak untuk bergerak ini pun terlalu
sering berhenti untuk mengambil nafas di setiap tikungan. Berjalan seperti
siput aku kembali melangkah. Dan tak berselang lama semburat merah mulai muncul
di cakrawala.
Semburat Jingga Menandakan Sang Mentari Segera Bangun |
Bayangan bayangan hitam pun mulai nampak seiring dengan aku tiba di
puncak pertama gunung batur. Bayangan bayangan hitam ini sebenarnya sebuah
kerucut besar badan sang gunung bernama gunung abang berpadu dengan dataran
kaldera kintamani yang mengitari kawasan geopark pertama di Indonesia ini. Dan
sedikit memicingkan mata aku pun dapat melihat puncak dari Gunung Agung yang berada
tepat di belakang gunung abang.
Lautan Awan Di Kaldera Batur |
Dari sini panorama keindahan khas gunung batur bisa kita nikmati.
Melongok ke depan kita akan disuguhi keindahan danau vulkanik batur yang
dikelilingi kaldera kintamani. Tepat di kaldera ini pun terdapat gunung abang
yang sedikit menutupi kemegahan gunung agung di belakangnya.
Pagi Yang Menakjubkan |
Dan karena semua keindahan dan keunikan yang dimiliki kawasan batur pada
tahun 2012 UNESCO akhirnya menetapkan kawasan kaldera batur ini menjadi taman
bumi atau Geopark pertama di Indonesia.
Tanah Yang Berasap Menandakan Gunung Batur Masih Aktif |
Dan perasaanku saat berada di Geopark pertama Indonesia ini adalah rasa
bangga, karena Indonesia mempunyai Geopark dengan keberagaman seperti di Batur
ini, dan yang semakin bangga adalah ratusan wisatawan luar negeri yang
berbondong bondong datang ke Batur untuk menikmati salah satu sudut keindahan
surga Indonesia.
***
Dan setelah berjalan 15 menit dari puncak pertama akhirnya aku sampai di
puncak tertinggi Gunung Batur. Di puncak inipun terdapat sebuah warung dengan
bangunan permanen namun keadaannya sama warung juga tutup seperti warung
sebelumnya.
Tepat disamping warung ada setapak kecil menurun dan berakhir di sebuah
pelataran sempit, aku lihat dari kejauhan tampak banyak wisatawan mancanegara
beserta pemandunya dan mereka tampak berkerumun membentuk lingkaran kecil.
Desa Pinggan Kintamani Di Kejauhan |
Jalur Tipis |
Mengikuti Setapak Kecil Di Bibir Kaldera |
Seorang Diri? Tak Masalah Bagiku |
Keindahan Geopark Pertama Di Indonesia |
Kapan Kalian Kesini? |
Dalam hati yang paling dalam pun aku berharap agar Geopark Batur ini
tetap terjaga kelestariannya mulai dari alam hingga budayanya dan yang
terpenting tak lepas dari tujuan diberikannya gelar Geopark itu sendiri yang
meliputi daerah konservasi, edukasi dan sustainable development.
4 komentar
Paparan ceritanya keren mas. Sy suka, sy baru pertama kali naik gunung yaitu Prau dan memulai di usia 45 above 😊baca kisah maa Pradipta ini menambah keinginan menjelajah lagi. Terima kasih suguhan ceritanya.
ReplyDeleteSama sama bang, semoga dengan tulisan ini sedikit menambah gambaran tentang Gunung Batur.. Segera datang dan mulai menjelajah lagi :)
DeleteMaaf koreksi #Pradikta K. ☺
ReplyDeleteCeritanya menarik dan inspiratif Mas. Sudah 2 kali saya ke Kintamani, mungkin nanti ketiga kali sy akan ke puncak Batur.
ReplyDelete