Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan pukul 16:30
namun keadaan saat itu sudah sangat gelap akibat mendung tebal yang mencurahkan
airnya dengan serta merta. Baru 3 jam kami berjalan tepat dari pos pendakian
Gunung Slamet di bawah sana, namun keadaan saat ini semakin sulit. Dengan
begitu derasnya air hujan yang turun semakin membuat langkah kami semakin
berat.
Seharusnya pos 2 sudah tak begitu jauh menurut perkiraan, tapi entahlah
karena suasana yang semakin sulit ini membuat perjalanan kali ini begitu berat
dan jauh. Langkah kaki semakin tertatih diantara air yang mengalir dari jalur
yang aku lalui. Berulang kali aku istirahat sambil berdiri dan bersandar di
pohon, karena memang keadaan hujan seperti ini tak memungkinkan untuk duduk.
Beberapa kali aku coba menengok ke belakang mencari keberadaan Mas Dino
dan memastikan dia baik baik saja karena dalam pendakian kali ini Mas Dino
dalam keadaan kurang fit. Melihat jauh ke atas sudah tak Nampak lagi batang
hidung dari Sandy, Adam, dan Vero. Mungkin mereka sudah sampai di pos 2 untuk
sekedar berteduh, pikirku.
Bersama Mas Dino aku kembali berjalan tertatih sambil menahan rasa dingin
akibat hujan. Mantel tebal pun rasanya tak cukup untuk sedikit mengusir hawa
dingin di tengah hujan deras ini. Yang ada dalam pikiranku adalah Pos 2 dan
berharap disana ada tempat untuk sekedar berteduh dan mengeringkan badan yang
basah kuyup ini.
Pelan Pelan Saja |
Tak beberapa lama akhirnya aku sampai di pos 2. Tak aku temui bangunan permanen
di pos 2 ini, yang ada hanyalah sebuah gubuk kayu memanjang dengan atap plastic
yang dipasang sedemikian rupa menggunakan beberapa potongan kayu. Sempit namun
cukup membantu para pendaki yang kebasahan waktu itu. Selidik punya selidik
ternyata tempat ini adalah warung dari penduduk setempat.
Saking ramainya pendaki sampai tak terlihat makanan yang mereka jajakan.
“Mas Adittt, sebelah sini saja” terdengar suara panggilan dari vero. Dan benar
ternyata dia sudah bergabung dengan pendaki lain berteduh di warung kecil ini. Aku
segera merapat dan melepas jas hujan yang tampak merembes ini, selang tak
seberapa lama mas dino pun datang.
***
Hari ini bertepatan dengan hari paskah yang berarti libur nasional. Kami
berlima telah merencanakan pendakian Gunung Slamet ini semenjak sebulan
sebelumnya. 3 hari berurutan libur
nasional menjadikan kami sangat bersemangat menempuh perjalanan jauh ke
Purwokerto dari tempat kami masing masing. Aku dari Surabaya, Mas Dino Vero
dari Jakarta, sedangkan si Sandy dan Adam berangkat dari Malang.
Berawal dari kunjungan Mas Dino kerumahku di Surabaya tercetus ide
pendakian gunung slamet ini.
“Mas dino, bulan depan ada libur
nasional tuh.. Yukk Naik gunung yukk mas, udah lama ga naik gunung”.
“Ayokk bro, tapi sekitar Jawa Tengah
aja ya, karena tiket ke Jawa Timur pasti udah mahal banget tuh” sahut mas
dino.
“Gimana kalo Gunung Slamet aja mas,
pas di tengah tengah tuh” lanjutku.
Dan akhirnya Gunung Slamet pun menjadi pilihan realistis. Sebar racun
sana sini akhirnya terjaring juga peserta tambahan yaitu Adam, Sandy, dan Vero.
***
Pendakian kali ini sebenarnya kami menargetkan sampai di Puncak Slamet
pada hari kedua pendakian. Namun akibat kendala cuaca yang lumayan ekstrim ini
mau tak mau kita harus menyusun rencana lainnya.
Dan dilain sisi para pendaki yang silih berganti beristirahat ataupun
melewati pos 2 ini tampak sangat banyak sekali. tampak berbagai grup dan
berbagai domisili dan ini pun menjadi kendala pendakian kali ini.
Para pendaki sebanyak ini di Gunung dengan lahan datar yang tak begitu
banyak akan membuat masalah sekali lagi. Dimana kita membuka tenda nantinya?
Apa kita bisa menemukan lahan kosong? Itu beberapa pertanyaan yang ada di
kepala kita masing masing. Dan argumen tentang bagaimana rencana pendakian ini
pun saling diutarakan.
Opsi pertama adalah kita akan melanjutkan perjalanan selepas hujan reda.
Namun mas dino berkata bagaimana nanti jika kita diatas tidak dapat lahan
kosong? Bagaimana nasib kita nanti? Tidur sambil berdiri?
Kabut Dimana Mana |
Kemudian yang kedua adalah membuka tenda di pos 2 ini, dan melanjutkan
perjalanan dini hari dengan cara tek tok dan meninggalkan semua perlengkapan
camping di pos 2 dan menuju puncak dengan target sampe jam berapapun oke. Ini
opsi yang aku utarakan karena waktu yang kami miliki terbatas karena pada hari
ketiga aku harus mengejar bus malam menuju kota Surabaya.
“Tek Tok” mendengar bahasa kekinian para pendaki gunung ini Vero serta
merta langsung menolak opsi ini. Karena hanya dengan membayangkan “Tek Tok”
keringat sudah mengucur deras, bagaimana rasanya jalan pulang pergi tanpa
istirahat di gunung setinggi ini.
Jalur Yang Membentuk Lorong |
Waktu semakin berlalu dan sekumpulan pendaki yang semakin memadati
sekitaran warung membuat kami semua harus segera menentukan tujuan. Dan
akhirnya tanpa di komando Adam dan Sandi langsung membuka tenda yang terdapat
dalam tas. Membentangkannya tepat di area dalam warung, dan seakan kami memberi
tanda jika ini lahan kami dan kalian harus segera menyingkir.
Dan akhirnya membuka tenda malam itu adalah keputusan paling tepat karena
di malam hari semakin banyak saja pendaki yang menuju ke atas dan tiba tiba
hujan pun kembali turun dengan derasnya.
***
Sinar pagi pun menyingsing, tak begitu terik karenan memang tertutup oleh
dedaunan lebat dari pepohonan di sekitar Pos 2 ini. Pagi hari kami lalui dengan
aktifitas masak memasak untuk mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan
kembali. Perjalanan hari aku rasa cukup menguras tenaga karena target kita kali
ini adalah Pos 7.
Tepat jam 09:30 kami semua telah bersiap kembali melakukan perjalanan,
namun tiba tiba terdengar panggilan dari Bapak pemilik warung yang baru saja
membuka dagangannya.
“Arep lanjut meneh mas” (Mau lanjut lagi mas?) Tanya sang Bapak kepadaku.
“Inggih pak, bade mlampah trus mangke datheng inggil kulo ngecamp maleh
pak” (Iya pak, mau jalan lagi kemudian nanti diatas akan ngecamp lagi)
begitulah timpalku saat itu.
“Iyo le ati ati, tapi ojo sampe buka tendo ning pos 4. Angker ning kono
le” (Iya nak hati hati, tapi jangan sampai buka tenda di pos 4, disana angker)
pesan sang Bapak kembali.
“Inggih pak, matur suwun” (Iya pak, terima kasih) sahutku menutup
pembicaraan dan segera mengumpulkan kawan kawan yang lain untuk berdoa sebelum
melakukan pendakian lebih lanjut.
Menuju Samyang Jampang
Tak ada bonus selama pendakian, itulah fakta yang harus kami dan kalian
terima jika mendaki Gunung Slamet ini. Dan benar selepas pos 2 pun kami
langsung dihadapkan dengan tanjakan dan tanjakan.
Jalur masih tetap dalam lingkup hutan yang lebat. Jadi pendakian di Gunung
Slamet ini sedikit terlindungi dari sinar matahari yang menyengat. 40 menit
berjalan akhirnya aku menemui kembali sebuah tanah datar yang terdapat beberapa
warung, ya inilah pos 3.
Tak ada yang menarik selama berjalan di tengah hutan seperti ini, pemandangan
lepas pun tak pernah kami temui. Suara kicauan burung saja yang selalu menjadi
penyemangat untuk selalu melangkahkan kaki tanpa henti.
“Pos 4 – Samarantu”
Itulah yang aku baca dari plang kecil yang menancap di sebuah pohon
rindang berlumut dan mungkin berusia puluhan tahun. Aku dan vero terduduk diam di pos 4 ini
sembari melepas lelah terlebih dahulu. Keringat bercucuran membasahi kaos tipis
yang aku kenakan, aku tergeletak diatas keril yang aku posisikan sedemikian
rupa agar enak untuk dijadikan bantal rebahan.
Memandang ke atas mengamati pohon pohon yang membentuk kanopi di pos 4
ini, sejuk dan damai namun semakin lama aku memandang semakin dalam pula aku
mengingat perkataan bapak penjaga warung tadi.
Suasana Siang Di Samarantu |
Seketika juga aku mengajak vero untuk bersiap kembali untuk melanjutkan
perjalanan, dan usut punya usut nama Samarantu ini berasal dari kata “Samar”
dan “Hantu”.
Berjalan sekitar 30 menit kami tiba di Pos 5. Keadaan sangat ramai
menyambut kami kala itu, di sepanjang lahan yang ada di pos 5 ini penuh dengan
tenda dan tampak dimana mana para pendaki saling melakukan kegiatan masing
masing.
Sepanjang jalur pendakian Gunung Slamet ini bisa dikatakan pos 5 ini
adalah tempat yang paling ideal untuk bermalam sebelum menggapai puncak
tertinggi Slamet. Disini juga terdapat sebuah aliran air yang dapat ditempuh
dengan berjalan kaki sejauh 100 meter saja.
Ramainya Pos 5 |
Jam masih menunjukkan pukul 13.00 rasanya terlalu cepat untuk mengakhiri
perjalanan hari ini, dan juga keadaan pos 5 yang sedang sangat ramai pasti akan
sulit menemukan lahan kosong. Okelah kita lanjut saja sampai Pos 7 atau 8
dengan asumsi perjalanan ke puncak nanti sudah tak sebegitu jauh.
Vegetasi pun mulai berubah dengan banyaknya pohon lamtoro yang menghiasi.
Sinar matahari pun sudah dengan bebasnya menyerang kulit, karena memang selepas
pos 5 keadaan jalur sudah cukup terbuka. Dan dapat dipastikan jika badai
menerjang sepanjang jalur ini bisa dikatakan rawan.
Dengan sisa sisa tenaga kami berjalan dan tak hentinya juga kami selalu
merebahkan badan untuk istirahat. “Alon – alon asal kelakon” itu merupakan
prinsipku setiap kali mendaki gunung. Tak apa apa berjalan lambat toh juga
Puncak Slamet juga tak akan lari.
Dan benar saja setelah 1 jam lebih berjalan kami menemui lahan datar
dengan pemandangan terbuka. Nampak si Adam dan Sandy yang sedari tadi berjalan
di depan ternyata sedang mempersiapkan pemasangan tenda.
Perjalanan kami hari ini pun kami tutup dengan bersantai di Pos 7 yang
bernama Samyang Jampang. Sambil menyantap kopi dan teh panas kami menikmati suasana
sore dimana matahari akan kembali ke peraduannya. Sore yang sempurna menikmati
sajian alam bersama kawan kawan.
Pemandangan Terbuka di Pos 5 |
Keluar dari tenda pemandangan menakjubkan langsung dapat kita nikmati. Dari pos yang menghadapat ke timur ini dari kejauhan tampak sindoro sumbing berdiri dengan gagahnya bak saudara kembar saja. dan disisinya nampak juga dataran tinggi dieng dengan sejuta pesona di dalamnya. Sungguh sore yang sempurna....
Bersambung
2 komentar
Nyahahhaahah enak banget, duh videonya bagus sih bete.
ReplyDeleteLatimojong dibikin makin keren mas
Delete