“Brrrrr… dinginnya malam ini” Gumamku kepada Vero dan Mas
Dino yang sedang berberes peralatan masak memasak yang habis digunakan tadi. Perut
sudah kenyang dan akhirnya pun mata pun semakin sayu. Tapi sayang rasanya
meninggalkan malam yang cerah ini begitu saja.
Aku coba keluar dari tenda, dan semakin dingin saja rasanya, tubuh pun seketika menggigil karena suhu yang turun drastis
ini. Cuaca kali ini sangat cerah di banding waktu kami berangkat kemarin yang
selalu diselimuti mendung dan hujan.
Aku adalah pengagum langit malam, seakan terhipnotis aku
terpana melihat cahaya bintang berjuta tahun cahaya jaraknya dari Bumi. Dan
dengan disini pun aku kian sadar betapa besar kekuasaan Tuhan yang telah
menciptakan gugusan bintang di angkasa sana.
Malam ini baru menunjukkan pukul 19:30 namun gugusan bintang
yang bergerombol atau yang biasa disebut dengan “Milky Way” telah menampakkan
diri. Mungkin bintang bintang ini ingin
menyapa kita di permulaan malam itu, dan seakan tak ingin
kehilangan momen aku segera mengambil peralatan kamera dan tripod.
Bintang Bintang Di Pos 7 |
Aku coba berkeliling disekitaran pos 5 mencari tempat yang
cocok dengan sudut pandang pas untuk mengabadikan penampakan “Milky Way” malam
ini. Segera aku pasang tripod dan mensetting kamera agar dapat menangkap cahaya
cahaya langit yang berumur puluhan tahun ini.
Dan bagi kalian yang tertarik untuk mengabadikan
bintang bintang bisa membaca sedikit Tips yang aku berikan dalam link berikut:
“Memotret Malam Yang Bertabur Bintang”.
Diantara Langit Malam Penuh Warna |
Memang mengasikan mengabadikan momen malam seperti ini, suhu
dingin seakan menghilang sewaktu aku sedang fokus berkutat dengan kamera. Dan tak terasa 90 menit sudah aku berkutat dengan kamera, cukup lama juga
pikirku dan ini sudah cukup, kami harus segera istirahat karena diujung malam
nanti kami harus bangun lebih awal mempersiapkan semuanya dan kembali berjalan
menuju puncak Slamet.
Summit Attack
Saya sudah terbangun mulai dari jam 00.00 malam
entah kenapa tiba tiba keadaan di sekitar tenda menjadi sangat ramai. Mata ini pun
terjaga, namun aku lihat di kanan kiri kawan kawanku masih nyenyak untuk tidur.
Aku coba untuk pejamkan mata kembali namun suara
suara pendaki di luar tenda kami semakin ramai saja padahal sebelumnya sunyi
senyap. Dan puncaknya adalah ada sedikit provokasi dari luar tenda, mulai dari
teriakan hingga menyetel lagu dengan begitu kerasnya.
Aku pun naik pitam dan “Ja***kkkk, diam kalian
semua.. ini waktunya istirahat kalau kalian mau ribut jangan disini” aku pun
berteriak dari dalam tenda dengan umpatan khas Surabaya yang maaf aku sensor
karena memang kurang pantas aku tuliskan disini.
Dan akhirnya mereka terdiam, dan mengecilkan
suara musik.
“ Dan dari cerita ini ada sedikit pesan bagi
kalian para pendaki, saling hormati sesama pendaki dan jagalah sikap selama
melakukan pendakian “
Suasana yang kurang mengenakkan sudah cukup untuk
membuat aku terjaga di sisa malam ini. Tak banyak yang aku lakukan saat itu
sampai jam alarm berbunyi tepat pukul 02.00.
Aku coba bangunkan kawan kawan yang lain, dan
kami benar benar terbangun keseluruhan pukul 02:30. Aku coba untuk keluar tenda
terlebih dahulu dan memberi semangat kepada yang lain agar segera mempersiapkan
perlengkapan kembali.
Suhu di luar tenda semakin dingin saja, entah
berapa suhu waktu itu tapi yang jelas cukup untuk membuat telapak tangan mati
rasa, ketika bernafas pun dari hitung sudah keluar asap karena dinginnya suhu.
Aku coba untuk menggosok gosokan telapak tangan untuk menimbulkan rasa hangat
walau hanya untuk sesaat.
Selang 45 menit untuk mempersiapkan semuanya,
dengan teriakan pelan pembakar semangat “Bebas Polioo Woyooo” akhirnya kami pun
segera melangkah meninggalkan tempat camp kami di Pos 7. Paling lambat 2 jam
lagi kita akan sampai puncak Slamet, dan berharap kami semua baik baik saja dan
tak ada penghalang apapun.
Jalur pendakian selepas pos 7 mempunyai elevasi
sekitar 45 derajat dengan medan terbuka diantara pohon pohon cantigi pendek.
Namun beruntungnya kami malam itu karena tak ada angin sedikit pun yang
berhembus. Bintang pun semakin memancarkan sinarnya, berkelap kelip berpadu
indah dengan sinar lampu yang menghiasi daratan di bawah sana.
Alam sedang berbaik hati mendukung langkah kami
menuju puncak tertinggi Slamet.
Kami berjalan beriringan, mencoba menyamakan
irama langkah kaki. Selangkah demi selangkah kami coba pijakkan kaki melalui
jalur sempit yang semakin menanjak. “Break” entah siapa yang berucap disedikit
lahan datar di pos 8, kami mencoba mengatur nafas untuk menjaga tempo langkah
kaki kita.
Jalur setapak kecil yang sangat menanjak sedari
kita berangkat tadi tiba tiba menjadi sebuah dataran. Berbatu dengan
pemandangan terbuka menghadap ke puncak Slamet, dan hanya ada beberapa pohon
cantigi kecil yang menjadi pemanis.
Ternyata kami sudah sampai di Pos 9 atau biasa
disebut “plawangan” pembatas atau batas vegetasi antara hutan dengan lereng
puncak yang terbuka. Terdapat plang besar berwarna merah yang menjadi pertanda
bagi siapa saja yang turun dari puncak agar tak salah arah.
Puncak Slamet Dikeheningan Malam |
Medan pendakian pun berubah menjadi bebatuan
cadas yang mudah terlepas dengan kemiringan yang sangat tajam. Perlahan demi
perlahan aku mencoba melangkah sembari memilih jalur yang tepat untuk dilewati.
Tak ada penunjuk arah yang jelas, aku hanya berpatokan dengan bayangan dataran
yang jauh diatas sana.
Jalur yang aku pijak padat namun bebatuan yang
mudah lepas dan membuat tergelincir. Jalur menuju puncak Slamet sekilas lebih
mudah dibandingkan pendakian menuju Puncak Semeru atau Puncak Rinjani. Namun semudah
apapun itu dalam pendakian hal yang terpenting adalah keselamatan diri kita,
maka dari itu kita harus selalu berhati hati dalam setiap kondisi.
Di tengah perjalanan kami berlima mulai terpencar.
Sandy berada jauh didepan. Aku, Adam dan Vero berjalan dengan konstan, dan mas
Dino berjalan sendiri dibelakang karena fisik yang kurang fit. “Pelan pelan saja asal selamat dan sampai”
menjadi acuan yang tertanam dalam hati, toh puncak Slamet juga tak akan lari
jika dikejar.
3428 Mdpl
Tanjakan berbatu sudah berlalu, para pendaki yang
bermental baja pun segera mendapat balasan. Tanah datar memanjang, mengedarkan
pandangan ke segala penjuru bebas tiada batas. Disini aku bisa melepaskan semua
rasa kebahagiaan, keharuan dan kebanggaan karena di saat ini aku diberi
kesempatan untuk menjejakkan kaki di tanah tertinggi Jawa Tengah.
Puncak Gunung Slamet |
Plakat plakat yang menancap bertuliskan “Gunung
Slamet – 3428 mdpl” merupakan bukti nyata kami disini berlima telah berhasil
berdiri di Puncak Gunung Slamet. Kaki yang gontai dan nafas yang tersengal pun
aku lupakan berganti dengan wajah sumringah, dan ucapan kata syukur “Alhamdulillah”.
Keadaan masih sangat sepi ketika kami datang, mungkin
karena kami yang terlalu pagi tiba di puncak pukul 04.40 , sembari terduduk aku
coba menikmati setiap momen yang bisa aku dapatkan. Sembari menunggu sang fajar
keluar dari peraduannya.
Pagi Yang Sempurna |
Memandang ke arah utara nampak sorot lampu kota
nan indah. Mungkin itu kota tegal atau pemalang pikirku, dan disebelah barat
kota purbalingga juga nampak indah dengan kelap kelip lampu kotanya. Tak ada
awan yang menghalangi, semua tampak jelas dan sangat menawan.
Dan selang tak beberapa lama warna jingga pun
nampak dari batas cakrawala sebelah timur. Perlahan lahan sang fajar pun tampak
merekah dan sekali lagi aku bertemu dengan spectrum spectrum cahaya yang hanya
nampak sekali sepanjang hari ini.
Siluet siluet pun nampak muncul menjadi pemanis
diantaranya indahnya pagi mengikuti alur sang fajar yang muncul ke permukaan. Komposisi yang paling menarik ketika ada
salah satu kawan berpose di tengah warna ajaib ini dengan siluet Gunung Sindoro
dan Sumbing dibelakangnya.
Kawah Aktif Di Puncak Slamet |
Menengok ke sebelah barat terlihat kepulan asap
pekat dari kawah Gunung Slamet. Memang gunung ini masih aktif dan sempat
mengalami erupsi beberapa bulan lalu hingga gunung Slamet sempat ditutup kurang
lebih 1 tahun lamanya. “Lirang” atau belerang nampak sangat banyak berada di
kawah aktif itu, dan mungkin suatu saat kawah ini bisa memberi penghidupan
seperti halnya Kawah Ijen atau Gunung Welirang.
Full Team |
Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 sinar matahari
pun semakin terik bersinar, sudah saatnya untuk turun kembali. Rasa enggan dan berat
beranjak pergi tiba tiba tertanam di dalam hati. Aku masih ingin menikmati ini
semua, tapi logika yang memberi batas, karena kehidupan kita sesungguhnya ada
dibawah sana.
Perjalanan Masih Panjang |
Sungguh istimewa gunung ini pikirku dalam hati. Dia
mempunyai nama yang sangat istimewa “Slamet” yang berarti selamat dalam Bahasa
Jawa. Namanya mengandung doa untuk warga
yang ada di kaki gunung hingga semua yang ada di dalam hutan hutannya dan
apapun yang menggantungkan semuanya dari gejolak asap pekat Sang Slamet.
Perjalanan Turun Dari Puncak Slamet |
Perjalanan turun masih sangat panjang, namun
sekali lagi Slamet memberikan apa yang tidak bisa saya temukan jauh di bawah
sana. Maka dari itu aku akan mencoba menikmati semuanya dan Terima kasih banyak
Gunung Slamet. Semoga aku bisa kembali lagi menyapamu….
Cerita Sebelumnya
4 komentar
.ka, ini liburan kemarin ke slamet nya?
ReplyDelete.wah sayang ya g ketemuuu
.eh, salam kenal ka..
Ini liburan yang bulan maret lalu kok mbak, salam kenal juga ya mbak. Thanks udah mampir mampir
Deletekeren bangeeeeeeeet. haha aku ke slamet summitnya jam 4 pagi. ga kebagian sunrise XD
ReplyDeleteYang penting udah sampe puncaknya yang membahana kan? untuk sunrise kapan kapan bisa diulang
Delete