Dari balik dinding dari papan papan kayu sinar matahari mulai nampak dan masuk melalui celah celah sempit. Sang pagi tak disambut meriah seperti orang orang yang sedang memburu pagi di puncak gunung gunung. Kawan - kawan yang berada disekitarku masih terlelap di dalam dekapan hangat Sleeping bag.
Aku
coba keluar dari dekapan hangat Sleeping
bag sambil sedikit menahan suhu dingin di awal pagi itu. Melongok keluar
nampak sisa hujan semalam masih membekas menyisakan udara segar yang nyaman
dihirup. Barisan bukit bukit tampak diam membisu, terselimut halimun di puncak
puncaknya.
Dari
dalam terdengar suara “Ambe Simen” sang pemilik rumah panggung yang memulai
melakukan aktifitasnya. Sembari menyandarkan kepala di dinding papan rumah
panggung ini aku mencoba menikmati semua yang ada di depan mata. Barisan bukit
nampak berlapis lapis menyapa pagiku yang indah di pedalaman Pulau Sulawesi, di
dusun mungil nan cantik bernama Karangan.
Dari
rumah Ambe Simen aku dapat melihat keseluruhan Desa Karangan dari ketinggian,
karena memang rumah ini berada di posisi paling atas sehingga jelas sekali
deretan rumah rumah panggung di bawah sana. Desa Karangan sebenarnya berada di
lembah yang berada diantara bukit bukit nan terjal. Sekilas seperti dataran
tinggi di Cina, walaupun aku belum pernah kesana hanya sebatas melihat dari
tayangan televisi saja.
Salah satu sudut keindahan di Desa Karangan |
Komoditas
utama dari penduduk Karangan adalah Biji Kopi berjenis robusta. Kopi jenis
robusta akan sangat bagus tumbuh dengan ketinggian diatas 800 mdpl. Dan jika
kalian adalah pecinta kopi, maka kalian pasti akan tahu tentang kopi Toraja
bukan? Yapp.. kopi Toraja yang terkenal itu sebenarnya paling banyak berasal
dari Enrekang dan sebagian besar berasal dari kawasan Karangan ini.
“Mass…
mass.. fotoin aku dong” rengek Acen yang tiba tiba datang sambil membawa
kamera. Acen ini adalah bapaknya JalanPendaki.com dan kali ini aku akhirnya bisa satu perjalanan dengannya, dan bahkan dulu kami sempat membuat sebuah project kecil bernama Setapak Pendaki
“Okee…
coba kamu kesana ya dengan latar pemandangan di belakang” sahutku kepada Acen.
“Satu…
Dua… Jeprettt” terdengar bunyi lirih kamera sedang mengabadikan sebuah frame.
Dari
sini saja sudah indah, tak perlu aku melangkah keluar dan mencari tempat
strategis hanya dengan di pelataran rumah panggung ini aku mendapatkan panorama
alam yang luar biasa.
“Baguss
… baguss, fotoin lagi dong atau di shoot videonya sekalian” betapa girangnya
ketika mengetahui hasil yang di dapatkan kamera sesuai dengan ekpektasi yang
kita harapkan.
Jari
jariku bergerak memencet tombol kamera sembari melihat hasil foto foto di layar
display. Memang indah desa ini, sepintas aku pun teringat kembali bagaimana
perjuangan untuk menuju kesini, dua kata yang pantas mewakilinya “Tidak Mudah”.
***
Naik Jeep tapi duduk di atap |
Pengalaman
pertama merasakan duduk di atap jeep. Ngeri itu yang aku rasakan namun secara
perlahan hilang seiring rasa takjub di perjalanan. Bagaimana tidak kiri, kanan,
depan, belakang semua begitu indah untuk dinikmati. Tangan pun selalu
menggenggam kamera dan siap siaga jika ada sesuatu yang menarik pasti akan
segera kami abadikan.
Satu
kilo, dua kilo, tiga kilo pemandangan indah tiada habisnya hingga akhirnya jeep
pun terasa sedikit berat untuk melaju.
Jalan
beton semakin menanjak hebat, jalur yang tadi mulus sekarang menunjukkan wajah
aslinya. Sebagian besar lapisan permukaannya telah hilang menyisakan bebatuan
mencuat bercampur pasir nan licin. Hingga akhinya bentuk beton yang bopeng pun
menghilang berganti menjadi tanah berlumpur.
Sisa
hujan yang turun pun semakin membuat jalur menuju Desa Karangan menjadi semakin
liar. Jalur meliuk liuk melewati bibir jurang yang sangat dalam di sebelah
kanan. Dengan laju konstan, mobil Toyota Land Rover tua yang aku tumpangi pun
melaju dengan mantap.
“Wooooo,
woooooo” mulut pun reflek berkata seiring dengan goncangan mobil yang semakin
menjadi. Tanganpun semakin erat mencengkram apapun yang bisa untuk di cengkram.
Mesin
mobil tua pun meraung seakan dia sudah lelah dipaksa melaju di jalur ini entah
untuk yang keberapa kalinya. Dari spion aku dapat melihat raut wajah sang
sopir, tak ada keraguan dari tatapan matanya dan dengan begitu tenang dia
mencoba bermain kopling dan gas agar mesin tua ini tetap bisa melaju di atas
lumpur dalam nan liar.
Dibalik
keindahan dan kekayaan alam di Desa karangan tersimpan secuil kisah dari
perjuangan hidup para penduduknya. Dari sini dari jalan yang berlumpur ini aku
sedikit bisa merasakan apa yang mereka jalani sehari hari.
Setiap
hari mereka harus bertempur dengan jalur yang luar biasa. Bukan konteks luar
biasa karena pemandangan alamnya namun luar biasa karena kerusakannya. Namun
apa daya hanya ini jalur satu satunya untuk mereka. Yang tua menyambung hidup
dengan membawa hasil kopi dan sayuran ke pasar terdekat dan yang muda meniti
langkah menuntut ilmu ke sekolah yang berpuluh puluh kilo jauhnya.
Dari
jalur ini mereka pergi dari jalur ini juga mereka akan kembali.
Perjuangan menarik truk yang kandas oleh lumpur |
Sebut
saja Gunung Latimojong, pendaki mana yang tak tahu salah satu gunung yang
tertinggi di Indonesia Ini?, Desa penghasil kopi Toraja yang terkenal itu, dan
salah satu penghasil sayuran terbesar di Kabupaten Enrekang. 3 alasan besar
mengapa Karangan perlu mendapat perhatian lebih karena Karangan mempunyai
potensi yang luar biasa.
Ini
baru di Sulawesi Selatan yang notabene belum begitu jauh dari kota terbesar
Indonesia Timur yaitu Makassar. Belum lagi disana, di Nusa tenggara, Maluku,
Papua dan lainnya, ahh sudahlah…
Duh
gusti, begitu besar tugas para pemangku Negara saat ini yang benar benar
memikirkan tanah airnya untuk sekedar lebih maju demi kesejahteraan rakyatnya.
“Jalan akan terus menanjak sampai ke Karangan” tutur Bang Ipang dengan logat khas Makassarnya yang sangat kental.
Mendengar
perkataan itu hati seketika menjadi sedikit lega karena perjalanan berat ini
akan segera berakhir untuk sementara. Mesin tua kembali meraung raung melahap
tanjakan terakhir ini. Hingga akhirnya masuk ke dalam sebuah lapangan luas dan
parkir tepat di samping rumah kepala dusun.
Sore
telah berubah menjadi malam ketika sampai di Karangan, suasana gelap karena
listrik mati menyambut. Hingga akhirnya seiring hujan deras yang turun memaksa
kami segera beristirahat dan mengakhiri perjalanan panjang untuk menuju Desa
Karangan.
***
“Gelang
ini untuk keselamatan kalian nanti, agar semua yang ada di Gunung Latimojong
bisa menerima kalian” ucap Ambe Simen lirih sambil mengikat sebilah rotan di
tangan hingga menjadi gelang mungil. Satu persatu dari kami pun bergiliran di
ikatkan gelang rotan ini.
Mendengar
perkataan tersebut sedikit merinding membayangkan perjalanan berat yang sudah
menanti di depan mata. Bukan bermaksud syirik dengan mempercayai sebuah gelang
bisa mengusir mara bahaya namun gelang ini adalah sebagai pertanda dan sebuah
doa agar kita semua bisa kembali turun dengan selamat.
Shinta dan Sulis memakai gelang rotan buatan Ambe Simen |
Terima
kasih Ambe Simen, terima kasih akan semua kebaikan yang diberikan untuk kami
semua. Dan pasti nanti aku akan merindukan tempat ini, desa cantik dengan
kesederhanaan dan keramahan para penduduknya.
Bergegas mempersiapkan semua kami pun segera berpamitan. Berkumpul melingkar sambil memunajatkan doa di pelataran luas “Bebas Poliooo… woyooo” teriakan pembakar semangat memecah keheningan.
Kaki
segera melangkah melewati setapak setapak kecil, Puncak Latimojong tunggu
kedatangan kami.
4 komentar
Bersambungnya alus yeeeee.... Hahahha
ReplyDeleteCerbung ini mah, hahaha
Deletebray... yutub nya uda di rilis ya mas dikta n acen... pengen nonton gratis nih, klo nontonnya di studio 21 kan kena cas gitu hahaha
ReplyDeleteYutubnya belom rilis secara resmi, tunggu tanggal maennya yaa :D
Delete