Jalan
setapak kecil yang pada mulanya normal dan tanpa ada halangan berarti kini
berubah. Tiba tiba ada sebuah jembatan mungil terbuat dari 2 buah bilah kayu
kecil melintang diantara tebing dan tepat di bawah jembatan menganga sebuah
jurang dalam yang siap menyambut kelengahan kita dalam melangkah.
Di
sisi tebing terlilit sebuah kayu rotan panjang sebagai pegangan tangan dalam
melangkah melewati jembatan. Sekilas memang mudah untuk dilalui, dan dengan
penuh keyakinan aku pun melangkah dengan mudahnya.
Namun
tak begitu jauh dari jembatan ini terdapat lagi sebuah jalur melipir sebuah
tebing batu yang cukup curam. Lagi lagi terlilit sebuah rotan yang kali ini
tersambung lebih panjang lagi, merefleksikan jalur yang sudah menanti di depan
mata.
“Jalan
aja dulu cen, biar aku rekam dari sini. Mantap nih jalur kalo direkam” begitu
aku berkata kepada acen si Bapaknya Jalanpendaki.com
Dengan
bersemangat merekam pergerakan acen yang begitu enaknya melewati jalur melipir
tebing ini. Sedikit cek layar display dan mematikan kamera kini giliranku untuk
melangkah.
Jalur Yang Cukup Menguji Adrenalin |
“Gantian
rekamin aku ya cen, mantap nih kalau dimasukin video nantinya” celotehku kepada
acen yang sudah siap siaga memegang kamera actionnya.
Sebelum
melangkah aku coba melongok ke jurang dalam yang ada di depan, “Dalam sekali
jurang ini pikirku”
“Bismillahhh….”
“Srettttt…..brukkkk….brukkkkkkk”
Kakiku
terpeleset tepat di bebatuan licin akibat air yang mengalir dari atas tebing.
Tanganku memegang erat rotan yang terpasang. Aku bergelantungan tepat diatas
jurang dalam yang menganga.
Mukaku
mungkin pucat pada saat itu, dan kini aku hanya bergantung pada sebuah rotan,
tak bisa bergerak ke kiri dan ke kanan karena memang tak ada tumpuan untuk mata
kaki hanya ada jurang yang siap menanti.
“Hahahahaha….”
Teriakan kencang terdengar dari mulut Acen, dengan kamera yang masih mereka dia
terus menertawaiku.
“Tolongin
dongg, gimana nih… matiin dulu itu kamera, jangan ngerekam mulu” kesal aku
melihat tingkah dia.
Hanya Berpegang Rotan |
Dengan
uluran tangan dari Acen aku coba untuk menggerakkan badan kesamping dan mencari
tempat datar. Kaki bergetar, jantung berdegup kencang, dada pun terasa sangat
sakit mungkin tadi terantuk bebatuan dan juga entah bagaimana nasibku jika tadi
aku tak berpegangan cukup kuat di rotan.
Setelah
dirasa cukup aman Acen kembali tertawa tawa puas diatas nasib temannya yang
sedang di ujung tanduk.
***
Pendakian
Gunung tertinggi di Sulawesi ini dimulai dari Desa Karangan, Desa cantik yang
berada di atas awan. Satu pagi yang sangat cerah mengantarkan kami memulai
langkah menempuh perjalanan yang mungkin tak bisa dikatakan mudah karena
Latimojong terkenal akan jalurnya yang berat. Semua bayangan itu sudah hinggap
di kepala, namun semangat yang tetap mendorong langkah.
“Eehh
ini ya yang namanya pohon Melinjo” dengan lugunya si Anna berkata.
Sontak
aku dan Bang Ipang pun tertawa terbahak bahak mendengar pertanyaan lugu itu.
Mana ada pohon kopi terbaik di tanah Sulawesi ini dikata Melinjo, ahh dasar
Anna.
Dan
memang vegetasi awal kita melangkah akan melalui perkebunan kopi yang
membentang luas. Pemandangan sangat terbuka menjadikan kami dapat mengedarkan
pendangan ke segala penjuru, dan mencoba menebak nebak yang mana puncak dari
Latimojong itu. Ahhh puncak jangan terlalu dipikirkan, jalani saja semua maka
puncak pun akan mendekat dengan sendirinya.
Jalur Awal Diantara Pepohonan Kopi |
Pohon
kopi yang ditanam renggang dan tak terlalu tinggi sukses membuat sinar matahari
dengan bebasnya menerpa kulit dan membuatu berpeluh deras. Namun dengan gurauan
sepanjang perjalanan diantara kami semua membuat ujian awal ini tak begitu
terasa walaupun jalur yang kami lalui semakin menanjak saja rasanya.
Dengan
keadaan yang seperti itu kami membutuhkan sekitar 90 menit untuk tiba di Pos 1.
Sama seperti sebelumnya di Pos 1 ini adalah tanah datar tanpa ada pepohonan sedikitpun.
Sangat panas, hingga aku akhirnya aku tak berlama lama disini dan berjalan
sedikit keatas berteduh di bawah pepohonan kopi yang tak begitu rimbun.
Aku
terduduk diatas kayu lapuk tepat di bawah pohon kopi yang lumayan rindang untuk
berteduh. Sembari mengatur nafas aku menikmati semua sajian alam yang ada. Dari
sini aku dapat memandang Pos 1 disana yang tandus dan banyak bekas pepohonan
yang di tebang.
Memalingkan
pandangan kesamping ternyata bekas pohon ditebang pun ada di sepanjang jalur
yang akan kami lalui. Di beberapa tebing sangat miring pun nampak pepohonan
tumbang. Sedih melihat ini semua, dan ini juga pasti kelakuan para warga yang
membuka lahan untuk ditanami pohon kopi nantinya.
Gersangnya Pos 1 |
Aku
berjalan kembali menyusuri tanah tandus diantara kayu kayu hangus. Dan tepat
sebelum kembali masuk hutan aku berhenti, menengok kebelakang aku bisa melihat
jelas jejak keserakahan manusia dalam mengelola alam. Dalam hati aku panjatkan
sedikit harapan, semoga sampai disini sampai batas hutan ini, tak ada lagi yang
kalian rusak. Sudah banyak sekali kemurahan alam kaki Latimojong yang dapat
kalian ambil maka sudah semestinya kalian menjaga semuanya.
Pegununganan
Latimojong ini adalah rumah dari banyak spesies tumbuhan endemic Sulawesi.
Disini hidup pula Anoa yang populasinya kian terancam, Babi Rusa, Kera, dan spesies
burung berbulu indah dan bersuara merdu seperti Burung Maleo. Aku beruntung
sedang berusaha mewujudkan mimpi dan angan di tempat sekaya ini.
Jalur
semakin menanjak saja dan tetap tak memberikan kami nafas lega. Namun vegetasi
hutan yang mulai rapat memberi kesempatan pada kami untuk menghirup nafas lebih
segar. Jalur basah dan sesekali berlumpur di beberapa titik membuat langkah
kaki semakin berat untuk melangkah.
Hingga
akhirnya aku menemui jalur sulit dan terjadilah kejadian seperti awal cerita.
Setelah kejadian tadi kaki ini rasanya terus bergetar dan semakin berjalan
perlahan terlebih ketika menemui jalur menurun yang cukup curam. Dan memang
perjalanan menuju pos 2 di jalur pendakian Latimojong ini akan terus menurun
hingga bertemu aliran sungai di Pos 2.
Suara
gemuruh air sungai terdengar begitu kencangnya. Dari suaranya saja dapat
menggambarkan derasnya debit air yang mengalir. Jalur menurun telah purna
tugasnya berganti dengan tanah datar melipir sungai.
Pos 2 |
Dan
inilah pos 2, pos yang cukup unik karena terletak dibawah bebatuan tebing besar
dan tepat berada di bibir sungai yang berarus sangat deras. Tak banyak lahan
datar dan hanya mungkin dapat menampung sekitar 4 – 5 tenda saja karena emang
seyogyanya Pos 2 ini hanyalah pos untuk persinggahan saja.
Air
yang mengalir dari sungai ini sangat jernih dan sangat segar, jadi tanpa
keraguan kami semua pun langsung mengambil air untuk minum dari sungai ini.
Namun tetap berhati hati karena derasnya arus sungai dapat menyeret siapa saja
kedalalamnya.
Sembari
menikmati kesejukan air yang mengalir di sungai satu persatu anggota pendakian
ini mulai berdatangan, mulai dari Shinta, Anna, Sulis, Lidya, Rafli, Bojes dan
yang terakhir Ipang sebagai penyapu ranjau di paling belakang.
Aliran Sungai Di Pos 2 |
“Jalur
setelah pos 2 ini adalah yang paling berat”
“Tapi
cuman sebentar, 45 menit aja kok” kata bang Ipang memberi kata kata semangat untuk
kami semua.
Beranjak
dari Pos 2 tanjakan nan aduhai sudah menanti di depan mata. Tanjakan demi
tanjakan tanpa bonus mendatar menjadi sajian utama untuk kami lewati. Pegal di
pundak dan lutut pun semakin terasa. Namun dengan langkah mantap kami libas
semua yang ada hingga mencapai Pos 3
dengan waktu kurang dari 1 jam.
Pos
3 kami lewati begitu saja karena memang fisik yang masih oke dan dengan target
kami akan mencapai Pos 5 sebelum malam menjelang. Lambat laun berjalan energi
yang ada pun semakin terkuras rasanya dari otot otot ini. Menapaki tanjakan
dengan sudut kemiringan tajam seperti ini langsung membuat tegang engsel tumit
dan lutut, apalagi buat aku yang cukup jarang untuk berolahraga.
Anna
yang menjadi leader perjalanan menuju Pos 5 ditemani Rafli, Sulis, Lidya, Anna,
Bojes dan Acen. Entah anna kesurupan apa hingga langkah kakinya begitu cepat
tidak seperti menuju pos 2 tadi, dia terkesan lambat dan tertinggal. Apalagi
ditemani dengan hentakan music dari speaker Bluetooth kecil yang Rafli bawa
semakin cepat pula langkah mereka meninggalkan aku dibelakang.
Aku
tak buru buru bernafsu untuk mengejar kawan kawan yang di depan. Aku lebih memilih untuk berjalan
santai menapak dengan jenjang langkah rapat. Naik sedikit demi sedikit sembari
menikmati hawa segar menyeruak dari pepohonan rapat disepanjang jalur pendakian.
Hutan Rapat Di Sepanjang Jalur |
Entah
berapa menit berjalan hingga akhirnya aku tiba di Pos 4. Aku letakkan keril
yang sedari tadi menempel di punggung dan mencoba merebah bersandar di salah
satu pohon besar nan nyaman. Terengah engah, energi makan siang di Pos 2 tadi
telah habis rupanya atau memang aku yang terlalu sedikit makan tadi.
“Ayo
mas jalan lagi” timpal semua kawan kawan melihat aku masih duduk santai.
“Duluan
aja dulu, nanti aku susul kalian” timpalku pada mereka semua.
Dan
dalam sekejap mata mereka pun bergerak cepat masih dengan diiringi suara music
mengalun kencang.
Beberapa
menit berdiam akhirnya aku bangkit dari duduk dan menatap nanar jalur pendakian
yang ada di depan mata. Mendengus pelan dan bertanya dalam hati “Berapa lama
lagi sampai pos 5 ini ya?”.
Kembali
aku berjalan pelan karena menyadari energi sudah mulai terkuras. Di depan
terhampar tanjakan dan tanjakan yang seolah tiada habisnya. Berjalan dengan
pelan ditemani kicauan burung burung setiap aku menemukan tanah datar nan
nyaman aku sempatkan untuk beristirahat walau hanya sebentar.
Tak
terasa waktu semakin sore dan kabut pun mulai pekat tersedak di antara rimbun
pepohonan. Sinar matahari pun nampaknya sampai tak kuasa untuk menembus
tebalnya kabut kala itu. Suasana yang tadi cerah menyegarkan kini berganti
sendu dan muram.
Kali
ini aku benar benar berjalan sendiri diantara kabut pekat ini. Rintik hujan pun
mulai turun, tidak terlalu deras namun membawa hawa dingin yang semakin menusuk
tulang. Dedaunan bergerak keras seiring dengan hembusan angin yang mulai
kencang. Mungkin bagi sebagian orang berjalan di tengah hutan dengan pekat
kabut seperti ini adalah kengerian namun saat itu aku lebih memilih untuk duduk
dan sedikit memejamkan mata menikmati semua.
Tiba
tiba ada suara melenyapkan lamunanku “Permisi ya mas…, yang lain kemana kok
sendirian aja?”
Ahh
ternyata ada kawan kawan dari Makassar yang datang menyusulku. Dalam perjalanan
menuju Desa Karangan mereka bertiga sempat satu jeep dengan kami semua. Mereka
adalah Daus, Rizky, dan Takim.
Mereka
mendahului aku yang tengah terduduk. Berjalan tak begitu kencang dan nampaknya
nafas mereka juga tersengal sengal dan wajahnya menyiratkan hal sama yang aku
rasakan. Jalur antara Pos 4 dan Pos 5 ini begitu panjang, dan terasa sangat
lama.
Aku
masih terduduk sampai mereka bertiga pun hilang dari pandangan. Dan tak
beberapa lama Shinta yang sedari pos 2 berjalan di belakang ditemani Bang Ipang
sukses menyusulku. Namun kali ini bang Ipang tak terlihat sepertinya tertinggal
jauh dibelakang dan usut punya usut Bang Ipang berjalan lambat karena memanggul
2 keril akibat Shinta sedikit cedera dan kelelahan di tengah perjalanan.
Di
tertatihnya langkah terdengar sayup sayup keramaian orang di kejauhan. Jalur
semakin datar, suara itu semakin mendekat. Langkah kami pun semakin cepat.
Jalur menanjak akhirnya menemui ujung setelah berjalan sekitar 4 jam dari Pos 2
akhirnya aku menginjakkan kaki di Pos 5.
Setelah
bertemu kawan kawan yang lain, aku meletakkan tas ditanah. Penderitaan telah
sirna. Merebah kembali sambil aku pandangi plang bertuliskan Pos 5 menancap
kokok di salah satu pohon. Dan diantara rimbun pepohonan terlihat sebuah
bayangan besar memanjang.
Memicingkan
mata aku melihat sebuah bukit tinggi membentuk benteng besar dikejauhan. Mungkin
puncak Rantemario ada di bukit tinggi itu, aku kembali membayangkan jika masih
belum purna tugas dari jalur jalur menanjak ini, masih ada hari esok yang
menanti kami semua. Jelas terbayang bagaimana perjuangan kami esok untuk meraih
tanah tertinggi di Sulawesi. Kini saatnya beristirahat, mengisi kembali tenaga
yang telah hilang dan selamat sore.
Cerita Selanjutnya
Kujejakkan Kaki di Rantemario
Cerita Sebelumnya
Desa Karangan, Desa Cantik Diatas Awan
Cerita Selanjutnya
Kujejakkan Kaki di Rantemario
Cerita Sebelumnya
Desa Karangan, Desa Cantik Diatas Awan
9 komentar
Mas, adeganmu yang jatoh itu akan segera terbit di VLOG ku ahhahhaahhaaha
ReplyDeleteWkwkwkwkwk, ditunggu deh, mau liat aktingnya bagus apa enggak
Delete������������,, ditunggu cerita berikutnya mas dikta
ReplyDeleteYoaa.... sabar menunggu aja yaa :)
Deletepenasaran sama cerita lanjutannya. Jalur yang dilalui kelihatan memacu adrenalin :D
ReplyDeleteStay tuned terus yaaaaa
DeleteCup tempat minumnya "the mountain is calling and i must go" Beli dimana gan?
ReplyDeleteGa tau gan...itu punya temen, cuman pinjem buat properti foto..hehe
Deletetulisannya bagus dan seru mas!
ReplyDelete