Sudah
berbulan bulan rasanya aku tak mendaki gunung. Kaki seakan gatal ketika jemari
tangan satu persatu membuka folder foto berisikan gambar gambar pendakian yang
telah lalu. Beginilah yang membuat mendaki gunung itu candu. Bagaimana tidak,
walaupun hanya lelah teramat sangat yang dirasakan, bersumpah serapah tak akan
kembali mendaki dan ada perasaan menyesal ketika melewati jalur menanjak yang
teramat terjal.
Namun…
semua itu seakan sirna ketika kita sudah sampai di titik paling atas dan
membuka kembali catatan perjalanan menjejaki tanah tanah tertinggi di negeri
ini, dan kini aku rindu mendaki.
Dan
inilah kami… sekumpulan orang yang selalu rindu akan pelukan dingin kabut,
lembabnya hutan hutan, rindu akan peluh yang keluar demi menapaki jalur menanjak.
Di gunung kita bertemu dan di gunung pulalah kita kembali untuk bersama membagi
kebahagiaan diantara kami semua. Aku menyebut mereka adalah keluarga… canda,
senyum dan tawa semua ada.
Walaupun
kini kita terpecah berai tersebar di beberapa kota namun setidaknya kami
menyempatkan dalam beberapa hari untuk kembali berkumpul dan kembali melakukan
kesenangan yang mempertemukan kami semua. Mendaki….
Gunung
Merapi akhirnya menjadi pilihan karena letaknya yang persis di tengah tengah
pulau Jawa dan akses yang mudah dari barat maupun dari timur. “Merapi tak
pernah ingkar janji” begitulah banyak orang berkata tentang gunung teraktif
yang di Pulau Jawa. Begitupun dengan kami yang menepati janji untuk melepas
rindu di Gunung Merapi.
“New
Selo” begitulah tulisan yang terpatri kokoh diatas warung warung yang masih
tutup. Kami 8 orang dari berbagai kota akhirnya berkumpul di titik yang
merupakan gerbang masuk pendakian Gunung Merapi. Udara dingin pagi nampak
menerpa kulit kami yang sudah terlalu lama bercengkerama dengan bising dan
polusi.
“Ve…berapa
lama kita mendaki sampai di Pasar Bubrah nanti? Tanyaku pada vero yang sudah
pernah datang ke Merapi sebelumnya.
“Kira
kira 4 – 5 jam an dengan jalan santai”..timpal vero
Oke…nampaknya
kita sebelum sore sudah bisa membuka tenda dan beristirahat di atas sana,
pikirku.
Siap untuk melangkah |
--09.00--
Jarum
jam menunjukkan tepat pukul 9 dan kamipun sudah siap untuk melakukan pendakian.
Tas keril sudah dalam gendongan, air berbotol botol pun sudah kami siapkan.
Karena memang Merapi tak menyediakan sumber mata air satupun. Bayangan tentang
beratnya jalur pun sudah di ujung angan dibutuhkan fisik dan mental yang kuat.
Dan begitupun factor alam akan sangat menentukan suksesnya perjalanan.
“Bismillah” sebuah kata pembuka doa kami. Dan satu lagi teriakan yang akan
membakar semangat kami “Woyooooo…..”
--09.45--
Peluh
sudah membanjiri muka dan badan apalagi ditambah sinar matahari yang nampaknya
sedang bersinar riang. Berbeda dengan hari hari sebelumnya yang selalu
menurunkan rintik hujannya. Dari titik awal “New Selo” jalur pendakian sudah
menggetarkan lutut, dan kami yang jarang berolah raga ini pun tampak kepayahan.
Musim
Hujan tahun ini nampaknya datang lebih awal di pertengahan Bulan Oktober.
Menjadikan jalur tak begitu berdebu sehingga sedikit mengurangi siksaan dalam
pendakian kali ini.
“Pos
1 masih jauh kah?” tanyaku pada vero yang nampak bersemangat memimpin kelompok
kami di depan.
“Gerbang
saja belum kok mau maunya pos 1” menimpali sambil terkekeh kecil.
“Apa?”
bukannya gerbang ada dibawah tadi ya?” pikirku kebingungan.
Namun
ternyata gerbang awal sebenarnya masih diatas sana dan kami pun belum juga
menggapainya. Tak perlu mengeluh sebenarnya karena ini yang kami inginkan
sendiri. Katanya rindu mendaki? Rindu kebersamaan ini? jadi berusaha menikmati
perjalanan adalah hal yang paling ampuh untuk sejenak melupakan beratnya jalur
yang akan dilewati nanti.
--10.50--
“Woyooooo…..gerbang
nih, ayo cepetan..” teriak mas Fahmi yang nampak selonjoran santai dibawah
pohon rindang diatas sana. Aku yang masih terseok seok menapaki tanjakan nampak
iri melihatnya dan segera menambah kesempatan agar segera dapat menikmati gaya
dari Mas Fahmi di bawah pohon.
Dari
semula perkiraan yang hanya 1 jam untuk mencapai Gerbang, kami tempuh hampir 2
jam. Semua tertawa akan kenyataan ini, karena memang jika kami sudah berjalan
bersama sama waktu tempuh akan menjadi 2 kali lipat. Bercanda, duduk duduk dan
bahkan tidur di jalur adalah hal yang biasa kami lakukan dalam pendakian.
Selepas
dari gerbang jalur hutan rindang masih senantiasa menjadi peneduh bagi kami.
jalurnya masih tetap menanjak tanpa ada dataran sama sekali. Sesekali kami
harus berhenti sekedar untuk meluruskan kaki dan mengambil nafas sebelum
melangkahkan kaki kembali.
--12.10--
Langkah
kaki terhenti disebuah Gubuk yang lumayan besar dan bertuliskan Pos 1. Suasana
teduh menguar, kami seakan memasuki ruangan berpendingin udara. Tak tahan
dengan godaan ini akhirnya aku melepaskan keril dan menggelatakkan badan di
gubuk sederhana ini. Begitupun dengan teman teman yang lain nampak mengikuti
dan merebahkan badan untuk melepas lelah.
“Itu
lihat jauh disana…” nampak Bembeng menunjuk dataran tandus, berbatu batu
“Ada
orang berjalan jalan…mungkin itu yang namanya pasar bubrah”
Ahhh
masih jauh sekali pikirku, di depan masih ada Pos 2 yang entah berapa jam lagi
kita gapai.
Tak
beberapa lama dari pos 1 penampakan jalur nampaknya mulai berubah. Hutan hutan
rindang mulai memudar digantikan dengan sebaran cantigi yang tak begitu tinggi
tumbuhnya. Jalur tanah juga berubah menjadi batu batu berbagai macam ukuran dan
berserakan kemana mana, namun ada satu yang masih tetap setia menemani yaitu
tanjakan curam.
Sesekali
kami harus berpegangan pada bebatuan yang ada dan sedikit merangkak untuk terus
bergerak maju. Ada tanya dalam hati ketika melalui jalur berbatu ini. Dari mana
asala bebatuan ini? apakah dari sisa sisa letusan merapi pada dahulu kala? Jika
iya pasti dahsyat sekali letusan gunung ini pikirku.
Dan
apa jadinya jika kami yang merangkak di bebatuan ini terseret lahar letusan?
Pasti binasa, karena memang kami manusia tak ada apa apanya jika sudah
berhadapan dengan alam. Kuasa Sang Pencipta sungguh luar biasa.
Kabut mulai menghadang |
--13.20--
Kabut
mulai memeluk ketika kami sampai di Pos 2, hanya ada warna putih kegelepan
dimana mana. Nafas yang terengah engah menapaki tanjakan berbatu sedari pos 1
tadi sukses membuat kami semua terkapar. Begitu pula aku setelah menaruh keril
matapun terpejam, tak begitu lama memang aku terpejam namun cukup memulihkan
tenaga yang sedari tadi terforsir. Dan bagiku jika aku sudah mulai terlelap di
antara rerumputan dan bebatuan bisa aku simpulkan jika semesta sudah
menerimaku.
Dari
pos 2 nampaknya perjalanan tinggal sedikit lagi, karena bayangan hitam berbalut
kabut pekat sudah semakin mendekat, ya diatas sana itulah Pasar Bubrah. Jalur mulai
melandai di Pos 2 namun tak seberapa jauh tanjakan terakhir nan tajam siap
menyambut kami.
Menapaki
tanjakan ini aku bersama Mas Eko, Mbak Dwi, dan Septi berjalan paling belakang
sembari menikmati panorama mistis nan epic karena ada kabut dimana mana memeluk
kami. Kamera aku keluarkan untuk mencoba merekam dan memotret semua panorama. 3
sampai 5 langkah aku berhenti memandang dengan seksama, menikmati semua. Tak perlu
terburu buru karena proses adalah menikmati proses adalah hal terbaik daripada
hanya mengejar satu tujuan.
--15.00--
Langkahku
ku pun terhenti di sebuah dataran penuh dengan batu berbagai ukuran yang
berserakan. Inilah “Pasar Bubrah” yang dalam bahasa jawa berarti Pasar yang
berantakan. Penamaan yang unik namun bisa mempresentasikan bagaimana keadaan
yang sebenarnya disini, “Benar benar berantakan”.
“Bayangkan
jika batu batu ini berhamburan menerjang dan jatuh diantara kita ya..” ujarku
sambil bercanda kepada yang lain.
“Hussshh,
jangan omong gitu ahh..” kata Vero dengan muka serius.
Dan
sekali lagi aku terbayang ketika Gunung paling aktif di Pulau Jawa ini sedang
murka, bagaimana huru hara yang terjadi disini, jelas tak ada yang selamat dari
amukan Merapi. Namun yang pasti ada doa didalam hatiku agar kami semua diberi
keselamatan disini di Pasar Bubrah, karena kami hanya ingin lebih dekat
memahami, menikmati Kuasa Sang Ilahi. Ditambah kami yang ingin melepas rindu
bisa berdekatan untuk berdekatan dengan ketinggian Gunung.
Puncak
merapi tak menampakkan wujudnya karena memang kabut pekat masih menyelimuti. Berjalan
perlahan mencari sudut terbaik untuk mendirikan tenda sebelum hujan mulai
menerjang. Tanah datar diantara dua buah batu besar menjadi pilihan kami, tak
ada kelompok lain hanya ada kami saat itu, menjadikan kami sangat leluasa
memilih tempat.
--17.00--
Sebelum
senja menjelang tiba tiba kabut perlahan menghilang berganti sinar matahari
jingga. Perlahan juga puncak Merapi menampakkan wujudnya. Gagah nan penuh
misteri ketika aku memandangnya dari Pasar Bubrah. Suasana hatinya yang tak
bisa ditebak, kadang Merapi bersahabat seperti saat ini namun tiba tiba pun
bisa murka dengan dahsyatnya. Namun itu adalah sebuah pertanda bagi semua orang
yang tinggal di lereng lerengnya agar mereka selalu menghormati dan bisa hidup
berdampingan dengan Sang Merapi.
--05.00--
Udara
dingin menyapa kami semua pagi itu, tak ada kabut yang menghalangi senyuman
dari Puncak Merapi. Diseberang sana senyuman manis pun ditampakkan oleh Gunung
Merbabu. Terdiam di depan tenda aku memandang jauh ke atas sana, nampak kilatan
cahaya senter dari para pendaki yang terseok seok ingin menggapai puncak
Merapi.
Melihat
semua itu ada keinginan untuk bergabung menjadi para pendaki pemburu puncak
yang rela jalan terseok seok, bercumbu dengan pasir, dan tujuan akhirnya adalah
puncak. Ahhh… bukankah itu tujuan mendaki gunung? Untuk mencapai puncak bukan?
“Yukk
mas kita naik ke puncak… paling cuman sebentar itu” ajak Bembeng sedikit merayu
“Iyaa…ayukk,
pengen tau aja gimana..nanti kalau ga kuat dan bahaya kita langsung turun” ujar
Mas Eko menambahi.
Ego
dan hasrat untuk menggapai puncak pun timbul namun tiba tiba ingatan akan
seorang pendaki yang terjatuh ke Kawah Merapi kapan hari mulai merasuk di
kepala. Berjalan perlahan menjauh dari tenda aku melihat papan peringatan
berderet berjarak sekitar 20 meteran “Stop, berhenti disini batas aman
pendakian” menengok ke belakang pun nampak sebuah papan kayu bertuliskan “Disini
lebih baik aman, Satu orang terasa banyak, Jangan tambahkan lagi, Jiwa jiwa
yang mati sia sia”.
Melihat
semua itu apakah engkau masih menuruti ego dan hasratmu? Aturan di buat bukan
untuk kita langgar. Biarlah mereka yang merayap di depan sana tetap menggapai
puncak, menasbihkan dirinya menjadi yang terhebat dan memperlihatkan pada semua
jika mereka telah sukses menjejakkan kaki di Puncak Merapi. Namun aku harus
tetap diam disini merelakan dan mengubur impian tentang puncak.
Puncak
adalah sebuah pencapaian terbesar seorang pendaki, menjadi sebuah kebanggaan. Namun
sesungguhnya puncak tertinggi itu diselimuti oleh selubung ego tak kasat mata.
Karena mendaki hakikatnya bukan hanya tentang puncak karena sesungguhnya
perjalanan dan kebersamaan adalah pencapaian sesungguhnya. Apalagi kami semua
kesini hanya untuk melepas rindu akan ketinggian, jadi tak sepantasnya kita
mengesampingkan keselamatan diri.
“Ayokk…kita
mendaki bukit yang ada disana saja” ajakku pada kawan lainnya.
“Sepertinya
sunrise disana lebih indah, dan pasti pemandangannya tak akan kalah dengan
puncak diatas sana”
Gunung
merapi dengan Pasar Bubrahnya mengajarkan bagaiamana untuk bisa menahan ego, hasrat
diri dan yang pasti mengajarkan kita semua untuk bagaimana caranya lebih bisa
bersyukur. Puncak yang tertahan bukan untuk kita sesali namun lebih bagaimana
cara kita untuk mensyukurinya.
Merapi
menguji kami dengan tanjakan, suhu, cuaca yang berganti ganti, dan puncaknya
yang tak bisa kami gapai. Namun merapi mempunyai cara tersendiri untuk membayar
semua lelah kami. Semburat jingga matahari perlahan menampakkan sinarnya di
sebelah timur. Nun jauh disana nampak Gunung Lawu menyapa, menengok ke kiri
dengan gagahnya Gunung Merbabu seakan menantang kami untuk menaklukkanya. Dan dari
sini pula senyuman Sang Puncak Merapi tampak sangat anggun.
Kami
ber delapan sudah dalam posisi, berdiri berjejer diatas pasir lembut berlatar
Gagahnya Gunung Merbabu. Seorang pendaki yang aku mintakan tolong untuk
memotret gaya kami pun telah siap. Oke semua Siap? 1…. 2…. 3…. Kami semua
tersenyum sumringah dan jepret jepret. Canda tawa pun lepas bergema di hadapan
alam yang luas.
0 komentar