Alam
adalah sebuah tempat pelarian yang akrab bagi manusia yang gelisah sejak lama. Alih
alih melarikan diri dari persoalan hidup, atau sekedar mencari inspirasi. Alam
justru memberikan pencerahan yang lebih besar dan agung.
Tak
heran jika memang sudah dari jaman dahulu orang orang yang mencari suatu jati
diri, pencerahan, atau inspirasi tempat pelarian mereka semua adalah tempat
tempat sepi yang langsung bersentuhan dengan alam, entah itu Gunung, air
terjun, goa maupun lautan. Mulai dari jaman kerajaan masih berdiri, hingga saat
ini masih sangat banyak yang percaya jika alam adalah guru terbesar bagi kita
umat manusia.
Begitu
juga dengan Gajah Mada sang Mahapatih dari Kerajaan Majapahit dahulu. Beliau
dengan banyak pasukan kerajaan kala itu memandang alam sebagai suatu yang
sangat mereka hormati. Mereka membangun banyak petilasan dan candi candi di
beberapa lereng gunung seperti Penanggungan, Arjuno, Hingga ke Semeru. Mereka
mendirikan itu untuk menghormati dewa dewa yang beracu pada gunung gunung yang
tersebar di sekitar Kerajaan Majapahit. Gajah Mada pun sempat berikrar pada
saat pengangkatan dirinya menjadi Patih.
“Lamun huwus kalah Nusantara isun
amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring seran, Tanjungpura, ring Haru, ring
Pahang, Dompo,ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman isun amukti palapa”.
Yang
artinya adalah sebagai berikut “Setelah
tunduk Nusantara, saya akan beristirahat; Sesudah kalah Gurun seran,
Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya
akan beristirahat”
Sebuah
sumpah yang sampai saat ini orang orang menyebutnya sebagai sumpah Palapa. Sebuah
sumpah yang akhirnya pun dipenuhi Gajah Mada, Nusantara pun akhirnya tunduk di
bawah kerajaan Majapahit mulai dari maluku hingga semenanjung siam (Thailand).
Dan
setelah sumpah palapa itu dipenuhi Gajah Mada akhirnya beristirahat bukan
dengan kembali kerumah atau kerajaan tapi dengan cara yang berbeda yaitu
kembali mendekat kepada alam. Beliau memilih untuk menyepi dan menyendiri di
sebuah tempat terpencil di kaki Pegunungan Tengger yang menjadi tempat terakhir
sebelum Sang Mahapatih benar benar meninggalkan peradapan dengan cara “Moksa”, adalah
sebuah konsep agama Hindu dan Buddha. Artinya ialah kelepasan atau kebebasan
dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi kehidupan.
Dan
banyak orang menyakini tempat terakhir sang Mahapatih adalah di Air Terjun
Madakaripura. Nama air terjun ini juga berarti tempat persinggahan terakhir
Gajah Mada.
***
Aku
pejamkan mata. Buih buih percikan air membasahi tubuh, deru air terdengar
sangat nyaring mendengung. Aku membayangkan dahulu ada seorang Mahapatih
Gajahmada yang sedang bersemedi di salah satu sudut air terjun megah ini. Terlindung
dengan dinding dinding tebing sangat terjal menjadikan Air Terjun Madakaripura
seakan akan terlindung dari dunia luar. Tentunya tempat ini sangat strategis
untuk mengasingkan diri dari peradapan dunia pada masa lampau.
Bak
cerita kolosal ketika aku membayangkannya. Sungguh hebat dan luar biasa cerita
tentang Majapahit dengan adanya Patih Gajah Mada dahulu kala begitu juga dengan
Air Terjun Madakaripura ini, yang mungkin menjadi saksi bisu hari hari terakhir
salah satu bagian terbesar dari sejarah Majapahit.
“Hati
hati mas, jangan terlalu lama disana… diatas sudah turun hujan” . Sebuah
teriakan tiba tiba membangunkan aku dari lamunan. Yang ternyata dari seseorang
penjaga air terjun Madakaripura.
“Kenapa
pak?” sahutku pada bapak itu
“Bahaya
mas, bisa datang air bah tiba tiba dari atas…nanti sampean bisa terjebak disini”
Kata sang Bapak memperingatkan aku lagi.
Aku
lihat di kejauhan Mas Farid, Mbak Ana dan Mbak Dwi sudah sudah berjalan
terlebih dahulu meninggalkan aku di ujung jalan tempat dimana aliran air terjun
paling besar berada.
Memang
dengan posisi air terjun yang berada di antara tebing tebing tinggi seperti ini
akan sangat rentan jika hujan tiba tiba turun dengan derasnya. Debit air bisa
tiba tiba besar dan menutup akses jalan keluar dan notabene satu satunya jalan
keluar adalah menyusuri aliran air sungai itu sendiri.
Tak
puas rasanya hanya sebentar menikmati keindahan air terjun Madakaripura yang
sangat indah ini. Namun sebelum kembali aku sempatkan untuk mengambil beberapa
foto. Namun untuk mencari spot foto dibawah sini aku rasa sedikit susah karena
percikan air dari atas ada dimana mana. Mengeluarkan kamera DSLR pun aku rasa
sangat riskan jika kamera itu tak tahan percikan air, satu satunya opsi adalah
menggunakan kamera action yang tahan air.
Aliran
air terjun yang pertama berbentung memanjang dengan banyak tumbuhan tebing
menjuntai tepat dialiran airnya menjadikan air jatuh lebih lembut. Sedangkan aliran
yang kedua berada di ujung aliran sungai dengan ketinggian yang hampir 100
meter dengan debit yang sangat deras. Angin kencang pun sangat terasa ketika
mendekati aliran yang kedua ini, alhasil keberanianku pun menciut untuk
mendekat. Dan dibawah sepanjang aliran madakaripura seakan dianugerahi hujan
abadi, disetiap sudut tak ada tempat kering.
Berkali
kali aku usap mata lensa dari kamera action kepunyaanku ini. baru beberapa
detik diusap dengan kain, hanya sebentar sudah penuh dengan percikan air lagi yang
menjadikan hasil foto kurang jernih. Seakan menjadi hal yang wajib, badan pun
berbalut dengan jas hujan plastic murahan dari penjaja di jalur sebelum masuk
air terjun. Aku langkahkan kaki menyusuri aliran sungai dengan sedikit terseok.
Terpaan air yang jatuh dari atas dan mengenai kepala pun tak bisa aku hindari. Dingin
aku rasakan ketika air menerpa wajah dan badan yang berbalut jas hujan.
Aku
buka jas hujan sekeluar dari aliran sungai. Disini cerah cerah saja pikirku,
tapi di dalam sana bak ada hujan badai menerjang. Aku teguk air mineral yang
aku bawa sedari tadi di dalam tas ransel. Aku sadar, bahwa terlalu sebentar aku
singgah di Madakaripura bukan berarti tak mau pergi namun suasana yang
disuguhkan memang bisa membuat siapa saja yang berkunjung akan betah berlama
lama.
Sebelum
beranjak pergi aku pandangi sekali lagi aliran aliran air diatas tebing. Sebersit
bayangan tersenyum kepadaku yang menarik aku untuk kembali lagi kesini tempat
asri nan damai ini suatu saat. Dan aku yakin diantara sudut sudut terjal
dinding tebing yang senantiasa basah itu ada sosok Gajah Mada yang sedang
tersenyum melihat anak cucunya menikmati keindahan Air Terjun Madakaripura.
Catatan:
- Makadaripura berada di Kabupaten Probolinggo dan sejalan dengan arah menuju Gunung Bromo.
- Petunjuk arah ke lokasi sudah sangat jelas.
- Waktu terbaik berkunjung pada saat musim kemarau.
- Bawalah jas hujan atau juga bisa beli di tempat, banyak penjaja jas hujan di Madakaripura.
- Bawalah kamera anti air.
- Pergunakan alas kaki yang anti selip.
- Jangan buang sembarangan, jangan kotori tempat seindah Madakaripura.
0 komentar