“Cuman
100 meter saja kalian sudah sampai di B29” begitulah kata sang ibu di warung
kopi yang saat itu satu satunya yang buka di areal parkiran. Belum sempat bertanya lebih jauh sang ibu
kembali berkata
“Sebenarnya
pemandangan lebih bagus di B30 nak, disana lebih tinggi jadi kalian bisa lihat
sekeliling lebih puas, jalan kaki 30 menit dari B29”
Aku
dan Mbak Dwi hanya mengangguk angguk sambil menyeruput teh panas segelas yang
berada di tangan kami. Aku memperhatikan jam tangan yang menunjukkan pukul
setengah 4 subuh, berarti masih sekitar 1,5 jam lagi matahari baru menampakkan
sinarnya. Sesungguhnya pagi di Bulan November tak sedingin pagi di puncak musim
kemarau yang jatuh antara Juli – September. Namun entahlah semua dari kami
berempat nampak sangat kedinginan di Desa Argosari Kabupaten Lumajang ini.
Begidik
bulu kuduk merasakan hembusan angin yang masuk diantara kayu kayu lapuk warung.
Aku gosok gosokkan jemari tangan sembari meneguk kembali sisa teh yang kini
sudah menjadi dingin. Diantara lubang dinding warung mataku menerawang jauh,
terlihat deretan kelap kelip lampu kota Lumajang di bawah sana. Aku pun
tersadar jika kami sudah berada di ketinggian di lereng pegunungan Tengger.
“Berangkat
saja yuk sekarang” Mbak Ana tiba tiba berkata
“Iya
bener, daripada kita semakin kedinginan diwarung. Lebih baik kita berjalan agar
tubuh menjadi lebih panas” kata Mas Farid menambahi. Sekarang jam 4 kurang,
setidaknya kita sampai di B30 pas saat matahari terbit.
Kelap Kelip Kota Lumajang Dari Ketinggian |
Kami
berjalan saling mengekor, menyusuri jalanan menanjak selepas parkiran. Disebelah
kiri sama samar terlihat pemandangan terbuka kawasan Bromo dengan lautan
pasirnya yang tertutup mega tipis. Menengok ke kanan nampak punggungan bukit
yang langsung menyajikan gemerlap lampu kota di kejauhan.
Bromo dan Lautan Pasirnya yang tertutup awan |
Hanya
sekitar 15 menit berjalan jalur menanjak sudah menemui ujungnya dan berganti
dengan tanah lapang yang luas. Di antara kegelapan aku pun sudah bisa menebak
jika ini puncak B29. Di salah satu sudut ada 1 kelompok anak muda sedang
mendekap tangan masing masing menahan dingin sambil membentuk formasi
lingkaran, sepertinya memang mereka berniat menunggu matahari disini.
Puncak
tertinggi adalah tujuan kami sebenarnya berarti harus lebih jauh lagi kaki ini
untuk melangkah. Samar samar dari kejauhan nampak puncak tertinggi itu yang
terletak di ujung punggungan bukit dan langsung bersebelahan dengan lembah
besar bernama Desa Cemoro Lawang yang ada di bawah.
Selepas
B29 jalur kemudian menurun diantara semak semak setinggi betis orang dewasa.
Tak beberapa lama semak belukar berganti dengan ladang sayuran yang menghampar
diantara kegelapan malam dan berada di sisi lereng sebelah kanan. Dan mungkin
ladang ini juga merupakan ladang tertinggi di Pulau Jawa bagaimana tidak posisinya
hanya beberapa meter di bawah Puncak B29 yang mempunyai ketinggian 2900 mdpl.
Jalur sebenarnya relatif datar dan mudah dengan jalur yang lumayan luas untuk dilalui 2 sepeda motor. Sesekali mendaki dan menurun dengan kemiringan ringan. Udara di perjalanan terasa sangat segar. Aku coba hirup sekuat tenaga hingga terasa memenuhi kerongkongan lalu mengalir ke dalam paru paru lalu aku hembuskan kembali keluar hidung. Nampak asap tipis mengepul dari hembusan nafas yang menandakan suhu diluar memang benar benar dingin.
Jalur sebenarnya relatif datar dan mudah dengan jalur yang lumayan luas untuk dilalui 2 sepeda motor. Sesekali mendaki dan menurun dengan kemiringan ringan. Udara di perjalanan terasa sangat segar. Aku coba hirup sekuat tenaga hingga terasa memenuhi kerongkongan lalu mengalir ke dalam paru paru lalu aku hembuskan kembali keluar hidung. Nampak asap tipis mengepul dari hembusan nafas yang menandakan suhu diluar memang benar benar dingin.
Langkah
kaki semakin cepat beriring dengan sinar matahari yang semakin menyingsing.
Nafas tersengal dengan peluh yang mulai keluar aku mencoba berteriak meluapkan
kegembiraan mencapai puncak tertinggi B30. Mbak Dwi, Mbak Ana dan Mas Farid
beriringan menyusul dari belakang. Raut wajah mereka nampak sama menyiratkan
rasa kebahagiaan.
Saya
meletakkan tas di sebuah disamping sebuah tugu trianggulasi dan melepaskan rasa
lelah yang hinggap menjalar. Aku kemudian berdiri menghadap ke arah matahari
mulai menampakkan diri. Semburat cahaya jingga menyinari tempat kami semua
berdiri, halimun tipis yang menyelimuti kami pun nampak bergerak perlahan
menyingkir dan kemudian membentuk lautan awan tepat di bawah kami berdiri.
Gunung
semeru nampak gagah dengan Kawah Jonggring Saloko nya yang berkala mengeluarkan
asapnya. Hiruk pikuk para penikmat pagi di puncak B29 pun terlihat dari sini.
Menengok ke kanan guratan khas Gunung Batok dan jajaran pegunungan bromo nampak
menjadi penghias sempurnanya pagi. Lampu lampu di Cemoro Lawang pun satu
persatu mati menandakan penduduk tengger sudah akan memulai hari.
Sang Semeru pun menyapa |
Tak
seberapa lama ada beberapa rombongan ojek yang mengantarkan para tamunya yang
tak ingin membuang tenaga dengan berjalan kaki. Turun dari boncengan motor
mereka pun berlarian dibuat takjub dengan pemandangan yang ada. Ya sama seperti
kami rasa takjub itu pun belum sirna sejak detik kami menginjakkan kaki di B30.
“Sampean
mudun mrono mas, pemandangane luweh apik” Salah seorang pengendara ojek
menyuruh kami semua untuk turun kebawah, yang katanya disana pemandangannya
lebih bagus.
Dan
ternyata benar adanya, sekali lagi aku terpana akan keindahan yang ada di depan
mata. kali ini lautan awan begitu semakin nyata berpadu dengan deretan
pegunungan Bromo di depan sana. Kaldera tengger pun terlihat seperti benteng
besar yang mengurung awan awan lembut itu untuk pergi.
Terkesima
kami semua menyaksikan sajian alam yang begitu luar biasa indah ini. Sekali
lagi alam mengajarkan kita bagaimana untuk lebih bisa bersyukur. Deretan gunung
gunung, semua lembah hijau yang menawan, dan bisikan pasir seluas samudera di
depan sana dilukis, diukir dan kemudian diciptakan senantiasa dengan kasih
sayang demi semua makhluk-Nya.
***
Dari
pusat kota Lumajang kami mengikuti petunjuk arah menuju kecamatan Senduro. Kecataman
di kaki pegunungan Tengger yang memiliki pura terbesar di Jawa Timur yaitu Pura
Mandara Giri Semeru Agung. Tempat ibadah agung bagi para suku tengger yang
tersebar tinggal diantara pegunungan bromo, tengger dan semeru.
Mulanya
jalan beraspal mulus dan lebar kemudian mulai menyempit selepas kecamatan
Senduro. Jalanan mulai menanjak dengan konstan seiring dengan makin melajunya
kendaraan yang kami bawa. Untuk menuju puncak B29 tinggal mengikuti saja papan
papan kayu yang sudah terpasang.
Walaupun
jalanan terkesan kecil dan sempit untuk kendaraan namun kualitas aspalnya bisa
aku katakan bagus. Tampak dibeberapa sudut jalan masih terparkir kendaraan dan
mesin pengaspal jalan. Kawasan B29 sedang bergeliat, pemerintah Kabupaten
Lumajang nampaknya sudah membuka diri dan sadar akan potensi wisata yang dimiliki
B29. Jalan akses dibangun dengan baik, fasilitas untuk wisatawan lebih
diperhatikan lebih lanjut. Ekonomi warga sekitar pun lambat laun akan lebih terasa
denyut ekonominya.
“Selamat
Datang Di Kawasan B29 Negeri Di Atas Awan” Begitulah tulisan masuk gapura masuk
di Desa Argosari, desa terakhir sebelum kita tiba di Puncak B29. Argosari pun
adalah titik terakhir dimana mobil bisa terus melaju, karena setelah Desa
Argosari jalanan menuju puncak B29 melalui jalur sempit dan sangat menanjak. Hanya
bisa dilalui oleh sepeda motor dan berjalan kaki saja.
Gapura Desa Argosari |
Mesin
motor meraung dengan kerasnya seiring dengan jalanan yang kian menanjak curam. Tanganpun
respek memegang erat bodi motor agar tubuh ini tak melorot kebelakang. Gas dipacu
dengan kencangnya meliuk liuk mengikuti jalur sempit diantara ladang ladang
warga. Ada perasaan was was dan khawatir melihat jurang jurang yang menganga
dalam nan lebar di sisi dan kanan.
30
menit akhirnya jalan pun menemui ujungnya. Dilengkapi pagar pendek sebagai
pengaman jurang yang ada di depan. Suhu dingin dan angin pun lebih bebas untuk
membelai kita. Wujud Kaldera Tengger pun sudah ada di depan mata. Ucapan syukur
pun aku panjatkan. Perasaan khawatir akan jurang sedari tadi diatas motor pun
kini telah sirna.
Ojek Menuju Puncak B29 |
“Sampean
beruntung mas… cuacanya sangat cerah, padahal kemarin disini itu hujan terus”
ujar sang pengendara ojek yang aku tumpangi.
“Alhamdulillahhh….”
Sahutku menimpali.
“Sejak
kapan B29 ini mulai dibangun pak? Tanyaku lebih lanjut.
“Baru
1 tahunan kebelakang ini mas, dahulu jalan kesini itu penuh lumpur jika musim
hujan datang, berdebu dan sangat panas jika musim kemarau, pokoknya penuh
perjuangan lah kalau mau ke B29 ini. kalau sekarang sih cuman setengah jam naik
motor kita sudah sampai” ujarnya berkelakar.
Mendengar
ceritanya aku bisa simpulkan kalau pembangunan yang dilakukan kini mulai
menampakkan hasilnya. Para wisatawan tanpa perlu berpikir 2 kali untuk
berkunjung, para pengojek pun lebih mudah dan tentunya pendapatan harian mereka
akan naik, belum lagi para penjaja makanan di warung warung yang berderet pasti
akan laku. Yang pasti ekonomi akan berjalan dengan pariwisata yang semakin
maju.
Namun
semua itu bukannya tanpa resiko. Membludaknya wisatawan yang datang sangat
rentan akan sampah yang mulai terlihat menumpuk di beberapa sudut. Ini perlunya
kesadaran kita sebagai pengunjung untuk lebih peduli masalah sampah dan
tanggapnya pengelola agar lebih banyak disediakan tempat sampah dan rambu rambu
larangan.
Dan
lewat tulisan ini semoga keindahan yang ada di B29 bisa lebih dikenal oleh
khalayak. Namun tentunya dari hati yang terdalam dengan semakin dikenalnya B29
berjalan lurus dengan keasrian yang ada di Puncak Tertinggi Kaldera Tengger
ini. Suatu saat aku pasti akan kembali dan berharap keindahan yang ada tak akan
pernah hilang.
12 komentar
Abang diktaaaaa, dari dulu sampe sekarang foto-fotonya selalu bagus ish :D
ReplyDeletePasti donggg...makasih Dini :)
Deletewah memang kalo tanpa Ojek butuh waktu berapa lama ya mas kira-kira ?
ReplyDelete1 - 1.5 jam an kayaknya ya mas..tapi kalo bawa motor sendiri sih bisa dibawa sampai atas, kecuali mobil cuman bisa sampai parkiran saja.
DeleteMas. Disana udah ada penginapan/homestay nya ta?
ReplyDeleteKemaren masnya nyampai di desa argosari itu malam atau pagi. Akses kesana aman tidak? Terima kasih
Aman silahkan berkunjung mas.
DeleteMalem udah sampe sana mas, akses dan sarana sudah baik serta aman kok mas
DeleteHalo! Bolej tau, masnya pake kamera apa ya utk jepret foto2 diatas?
ReplyDeleteHaloo mbak, aku pake kamera canon 650 D pakai lensa wide 10 - 22 mm
Delete
ReplyDeleteWah bagus ceritanya, tapi apakah Anda akan mengganti cerita ini bila ternyata Anda bukanlah berada di ketinggian 2900 mdpl [puncak B 29] atau bahkan 3000 mdpl [puncak B 30]?
Anda cobalah cari di Google Earth, tidak ada puncak di sekeliling Bromo dengan ketinggian 2900 bahkan 3000 mdpl.
Puncak tertinggi di sekeliling Bromo adalah Penanjakan 1 dengan ketinggian 2756 mdpl.
Amazing, kata ini sudah cukup mewakili kekaguman kami di puncak B 29 saat matahari terbenam dan terbit sungguh mengagumkan. Petualangan mengesankan dari mendaki bukit dan mendirikan tenda di camping ground puncak b29 sungguh pngalaman dan petualangan yang tak terlupakan bagi rombongan kami
ReplyDeleteKalo mau kesini baiknya diusahakan sampai parkir jam 4 subuh atau jam 3 sore. Karena golden hour nya ada di waktu subuh atau sore saat matahari terbenam.
ReplyDelete--
Travel Lumajang Surabaya