Deretan gedung gedung pencakar langit nampak gagah berdiri menyambut kapal kami yang merapat di sebuah dermaga pelabuhan Kota Kaohsiung. Bertajuk kota terbesar di daratan Taiwan menjadikan Kaohsiung kota yang terasa akan aura moderenitasnya.
“Apa kita bisa turun?, kan di Taiwan perlu apply visa dulu buat kita
WNI?
“Don’t worry, kalian tak perlu visa untuk turun. Ada pengecualian untuk
para penumpang Kapal Pesiar” Begitulah kira kira perkataan dari seorang kru
kapal yang menenangkan kekalutan kami saat itu.
Di saat semua orang luar yang akan masuk Taiwan dan dengan transportasi
apapun harus mempunyai visa terlebih dahulu (Tidak ada visa on arrival). Untuk
pemegang visa Schengen, US, Jepang, Atau Inggris sedikit diberi sedikit
keistimewaan dengan bisa apply visa via online. Kami para penumpang Kapal
Pesiar tak perlu repot dengan dokumen dokumen visa tersebut, tinggal “lenggang
kangkung” cukup dengan paspor saja kami sudah bisa menginjak daratan Taiwan.
Pemerintah Taiwan memberi keistimewaan untuk para penumpang Kapal Pesiar
yang bersandar di negerinya. Mungkin piker mereka para penumpang Kapal Pesiar
adalah orang istimewa berkantong tebal yang akan membawa dampak besar bagi para
pelaku wisata yang didatangi kapal pesiar. Tapi kenyataan saat ini adalah ada
beberapa manusia di yang keluar dari kapal dengan kantong kempes, seperti aku
ini.
***
“Please, take us to River Love”
Mas Zudi berkata kepada sopir begitu kami semua masuk ke dalam taksi. Tapi sang
sopir nampak diam saja.
“R-I-V-E-R-L-O-V-E” aku mengulang dengan perlahan ejaan itu dan si
Masaul pun menunjukkan peta yang ada di brosur hasil pemberian mbak mbak cantik
di pelabuhan tadi.
“Do you understand?” Mas Zudi kembali bertanya kepada sopir.
Kali ini sang sopir pun menanggapi dengan acungan jari yang menandakan
“Oke”. Sudah bisa ditebak jika sang sopir tak bisa berbahasa Inggris. Namun
dalam hati aku yakin dia sudah memahami dan akan mengantar kami ke Love River.
Taksi melaju kencang meninggalkan area pelabuhan dan memasuki jalanan utama
Kota Kaohsiung. Kota yang besar namun jalanan nampak sangat lenggang untuk
seukuran kota yang katanya terbesar kedua di Taiwan, tak ada macet dan kesemrawutan
semua nampak teratur layaknya kota modern.
Keasyikan melihat keadaan sekitar kami pun tak sadar jika arah taksi
menuju ke tempat yang salah. Lambat laun taksi memasuki jalanan menanjak ke
perbukitan. Padahal menurut peta yang ada di brosur kepunyaan Masaul, Love
River berada di tengah perkotaan Kaohsiung.
Kami salah jalan, dan sang sopir pun sedari awal tak paham kemana arah
tujuan kami. Taksi pun kami berhentikan paksa, dan mulai mencoba memberi
pemahaman kepada sang sopir. Sia sia, karena sopir taksi tak bisa sama sekali
berbahasa inggris. Tapi tiba tiba sopir ini mengambil sebuah handphone dan
menelepon bagian kantor taksi itu dan menyerahkan telpon itu kepada kami.
Pak Sopir Taksi |
“Kami ingin ke Love River, tapi kami lihat kami semakin menjauh dari
perkotaan dan naik ke bukit”… sahut mas Zudi menimpali panggilan telepon itu.
“Ohh yaa..nampaknya sopir kami salah paham, dia akan mengantarkan kalian
ke Bukit Love. Mohon maaf atas kesalahan ini, tapi tenang saja kalian akan tiba
di Love River beberapa menit lagi”.
Di tengah kekacauan di dalam taksi aku menaruh rasa salut untuk
perusahaan taksi ini. Di tengah para sopirnya yang aku rasa kurang Friendly
untuk para turis seperti kami ini namun pemecahan masalah karena Bahasa bisa
mudah diselesaikan. Aku pun tak yakin di Indonesia perusahaan taksi saat ini
ada yang seperti ini.
***
15 menit setelah kami tersasar kami akhirnya berhasil turun di tepian
Love River. Sungai yang sangat terkenal di Kota Kaohsiung yang saat ini
berpredikat “Must Visit”. Belum ke Kaohsiung jika belum ke ‘Ai He’ sebutan
orang local untuk Love River ini.
Love River hanyalah sungai biasa, yang kalau dilihat sekilas tidak
terlalu istimewa. Namun dengan sistem tata kota dan dekorasi yang menarik,
termasuk lampu-lampu cantik yang menghiasi malam hari, jangan heran bila
menemukan banyak orang berjalan menyusuri kedua sungai ini. Love River, yang
mengalir menuju Kaohsiung Harbor, memiliki pedestrian walk yang nyaman dan luas
yang membuat siapa saja yang berkunjung betah untuk berlama lama di tepian
sungai.
Nampaknya Love River ini akan menampakkan keindahan yang sesungguhnya
pada malam hari, hiasan lampu pasti akan mempercantik setiap sudut dari love
river. Walaupun kami datang pada siang hari Love River masih menawan hati kami,
dan membukakan mata jika aliran sungai yang dahulunya tercemar seperti Love
River ini bisa ditata sedemikian rupa dan menjadikan ikon kota Kaohsiung. Kalau
Taiwan bisa kenapa Indonesia tidak!
Berjalan menyusuri sungai yang panjang seperti ini mungkin tak ada
habisnya, hingga kami tiba di perempatan jalan yang diseberangnya muncul
bangunan tua gereja diantara gedung gedung yang lebih modern.
“Holy Rosary Cathedral” begitulah tulisan di papan nama yang terpasang
tepat di pintu masuk. Disampingnya juga terdapat sebuah papan yang berisi
informasi tentang gereja tua satu ini. Ternyata gereja yang ada di hadapan ini
adalah gereja tertua yang ada di Taiwan yang berdiri sejak tahun 1860. Namun
sayang pada saat itu kami tak bisa masuk ke dalam gereja karena pintu yang
terkunci rapat.
Sekilas memang tak sebesar gereja gereja yang aku lihat sebelumnya di
Manila, namun gereja kecil ini menyimpan banyak sekali sejarah tentang
penyebaran agama katholik di daratan Taiwan.
***
Siang hari itu udara nampak sangat menyengat, berjalan kaki dengan
berkeliling seperti ini cukup membuat kaki pegal dan berkeringat juga. Namun
masih banyak tempat yang bisa kami kunjungi saat itu, sayang jika waktu di
Kaohsiung hanya kami pergunakan untuk duduk duduk saja.
“Cari di Google dong, tempat mana lagi yang menarik untuk di kunjungi..”
pintaku kepada kawan kawan yang sudah nampak kepanasan.
“hmmm… sebentar, di deket sini ada museum kereta” Sahut Masaul.
“Yukk kesana yukk…” sambung mas Zudi yang memang railfans sejati.
Dengan menaiki taksi kami tiba di museum yang bernama “Takao Railway
Museum”. Berhubung museum ini gratis tanpa tiket masuk kami semua pun langsung
ngacir masuk ke dalam. Sekilas museum ini adalah sebuah stasiun tua yang
dirombak dan dijadikan museum, nampak bangunan stasiun masih dipertahankan.
Di dalam terdapat 2 buah rel memanjang dan diatasnya terdiam beberapa
lokomotif tua dilengkapi dengan papan informasi asal dan tahun pembuatan. Hanya
ada beberapa biji lokomotif dan gerbong saja yang dapat kami lihat dan itu pun
dalam keadaan kurang terawat. Dalam hati pun berkata “Museum kayak begini aja
sih di Indonesia lebih bagus, jauh lah kalau dibandingkan sama museum kereta di
Taman Mini atau di Ambarawa”.
Masih bagusan Taman Mini atau Ambarawa |
Dan ternyata lapangan dan kerumunan orang yang aku lihat tadi adalah
sebuah taman dengan bernuansa kereta juga, namanya “Hamasen Railway Cultural
Park”. Usut punya usut tempat ini adalah bekas stasiun central yang sangat
bersejarah bagi dunia perkereta apian di Taiwan. Sebelum digusur oleh
keberadaan MRT.
Pada masa jayanya dahulu kereta di Taiwan adalah transportasi yang sangat diandalkan untuk perpindahan orang maupun barang. Tak ingin sejarah itu hilang ditelan waktu pemerintah kota Kaohsiung secara perlahan membangun kawasan ini menjadi pusat sejarah tentang kereta api di Taiwan.
Pada masa jayanya dahulu kereta di Taiwan adalah transportasi yang sangat diandalkan untuk perpindahan orang maupun barang. Tak ingin sejarah itu hilang ditelan waktu pemerintah kota Kaohsiung secara perlahan membangun kawasan ini menjadi pusat sejarah tentang kereta api di Taiwan.
Ada yang menarik perhatian di kawasan ini, mataku tertuju pada sebuah kereta berukuran mini yang hilir mudik ditumpangi para wisatawan local. Mereka duduk di atas kereta mini itu, setiap kereta akan lewat pintu perlintasan kereta yang berukuran mini pun menutup secara otomatis dan berbunyi. Sungguh unik dan mungkin hanya ada disini. Dalam hati pun ingin rasanya aku mencoba naik, namun apa daya karena umur yang tak lagi pantas untuk mencoba permainan ini.
Tak terasa hari semakin sore saat kami melangkah keluar dari Taman
Hamasen, jarak dari pelabuhan memang tak begitu jauh hanya perlu berjalan
beberapa menit. Seperti tak rela untuk terburu buru meninggalkan Kaohsiung,
karena masih banyak tempat yang belum sempat aku kunjungi.
Namun apa daya karena perjalanan masih akan terus berlanjut. Mungkin dilain
waktu dan kesempatan aku akan mengunjungi Kaohsiung kembali. Aku berdiri
termenung diatas dek kapal melihat matahari terbenam, lampu lampu pun segera
menggantikan peran dari sang matahari.
Kota Kaohsiung Di Malam Hari |
1 komentar
Wow, kak Adit keren udah pernah ke Taiwan
ReplyDelete