Sekumpulan bocah bocah kecil berlari larian larian mengejar bola yang menggelinding. Sebuah halaman depan rumah mereka sulap menjadi tempat bermain mengasikkan. Wajah wajah ceria nan polos menghiasi wajah mereka. Orang orang tua yang ada disekitar nampak tengah sibuk mempersiapkan sebuah panggung mini dengan beberapa perlengkapan pengeras suara.
Begitu kami melangkah
mendekat wajah wajah yang tengah sibuk akan pekerjaannya kini memalingkan muka
dan menabar senyum paling ramah yang mereka miliki kepada kami para pendatang.
Sambutan awal yang sangat membekas dihati dan menjadi awal bagi kami untuk
menaruh hati di Desa Waerebo.
Diatas ketinggian 1200
meter diatas permukaan laut menjadikan desa kecil ini terasa terpencil dan
seakan menyatu dengan alam. Kabut sering kali turun menyelimuti desa karena
memang desa ini berada di lembahan dari gunung gunung yang mengelilinginya.
Suhu udara yang ada pun kebanyakan turun, namun diantara suhu yang dingin itu
Waerebo menyimpan kehangatannya tersendiri. Bukan karena sinar matahari atau
tungku tungku diatas api melainkan karena penduduk Waerebo itu sendiri.
Senyuman dan keramah tamahan penduduk Waerebo yang menyambut kami membuat
suasana hangat menguar.
“Saya Pak Alex, ketua
adat penduduk Waerebo” dengan senyum lebar menyambut kedatangan kami sore itu.
Setelah berkenalan dengan rombongan kami Pak Alex pun melakukan upacara
penyambutan untuk kami para tamu. Upacara penyambutan yang diistilahkan oleh
penduduk setempat adalah ritual Pa'u Wae Lu'u berguna untuk meminta izin dan
perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung, hingga
meninggalkan kampung tersebut. Jadi sebelum ritual ini dilakukan pengunjung
dilarang untuk melakukan aktifitas di areal Wae Rebo termasuk mengambil gambar.
“Dan sekarang kalian
semua sudah menjadi bagian dari Waerebo, penduduk dari Waerebo, silahkan
beraktifitas dan menikmati suasana di desa kecil ini” begitulah kata kata terakhir
yang disampaikan Pak Alex yang ditutup kembali dengan senyuman hangatnya.
Kami pun diantar
menuju ke “Mbaru Niang” atau rumah adat warga Waerebo oleh salah satu penduduk.
Selama satu malam ini kami akan membaur dengan keluarga yang mendiami salah
“Mbaru Niang”. Lagi lagi sambutan hangat dan senyuman ramah menyambut
kedatangan kami. Satu persatu duduk dan mulai memperkenalkan diri. Teh dan kopi
panas pun menjadi sajian pembuka untuk kami. Obrolan obrolan ringan pun mulai
terlontar satu sama lain. Dan aku pun banyak bertanya mengenai Rumah dengan
bentuk unik nan ikonik yang membuatku takjub.
Kami Dengan Pak Alex Setelah Acara Penyambutan |
***
Sekali lagi untuk
mencapai suatu tempat yang indah itu memang perlu perjuangan. Namun percayalah
diakhir perjalanan nanti semua perjuangan akan terbayar lunas. Hal ini juga
berlaku untuk perjalanan ke Waerebo, butuh perjalanan yang sangat panjang untuk
akhirnya dapat menjejakkan kaki di desa yang selalu berselimut kabut ini.
Awal mula perjalanan
adalah dimulai dari Labuan Bajo yang terletak di ujung barat Pulau Flores. Pagi
pagi sekali aku memulai perjalanan, elf berisi 13 orang yang kami tumpangi pun
melaju meliuk liuk melewati jalanan Trans Flores yang terkenal akan keganasan
jalur berkeloknya. Dan benar saja, tak lebih dari satu jam akhirnya aku dan 2
orang teman silih berganti memuntahkan hasil sarapan tadi pagi yang berada di
dalam perut. Mungkin ini adalah akibat aku terlalu banyak melihat layar
handphone selama di perjalanan.
Pemandangan sepanjang
jalur sangat indah dipandang, jalur meliuk liuk bak ular panjang yang melewati
ratusan bukit yang menjulang di Pulau Flores. Namun berhubung aku sudah mabuk,
aku lebih banyak memaksa mata untuk terpejam untuk melupakan pusing yang
mendera kepala.
Kota kecil bernama
Denge adalah tujuan kami sebelum masuk ke kawasan Waerebo. Butuh waktu 7 jam
dari Labuan Bajo untuk mencapai Denge. Mungkin Denge pun tak pantas untuk aku
sebut kota, lebih pantas sebagai kecamatan kecil yang ada di pelosok Pulau
Flores. 5 km sebelum mencapai Denge kami berhenti sejenak di Dintor untuk
mengisi perut sebelum melakukan pendakian menuju Waerebo.
“Yukk bayar dan segera
berangkat agar nanti kita tak kemalaman sampai di Waerebo” ajak Si Vero kepada
kami semua yang nampak berdiam diri karena perut yang terisi penuh.
Satu satunya tempat makan selama di perjalanan |
“Berapa harga per
orang ini ve?” tanyaku pada Vero
“60 ribu per orang
mas” sahut si Vero berbisik pelan sambil nyengir.
“Hahh…Gak salah
denger??”
Harga yang mungkin
menurut kami semua terlampau mahal untuk ukuran dompet kami dan menu yang
disajikan hanya sekedar Nasi, Ayam goring, tempe, dan urap urap. Namun jika
kita melihat dari sisi lain yaitu Dintor yang sangat terpencil dan jauh dari
peradaban kota besar, apalagi hanya di Waerebo Lodge ini yang sanggup menyediakan
makan siang kami karena tak ada rumah makan lainnya di Dintor maka harga 60
ribu sekali makan adalah harga yang menurut kami sah sah saja dan sebanding.
Dari Dintor jalanan
terus menanjak hingga sampai ke Denge. Suasana dan udara pegunungan pun dapat
kami hirup keberadaannya. Sopir elf kami terus menginjak pedal gas dalam dalam
hingga akhirnya jalanan aspal menemui ujungnya. “Okee, mas dan mbak cuman
sampai sini elf kita bisa masuk, selanjutnya silahkan untuk jalan kaki” Kata
sang sopir elf.
Untuk menghemat tenaga
kami menggunakan jasa ojek yang sudah menunggu ditempat elf kami berhenti. 20
ribu untuk sekali jalan adalah harga yang ditawarkan. Aku pun setuju saja
karena jika berjalan kaki kita nampaknya butuh waktu 30 – 60 menit untuk berjalan
di jalur menanjak hingga sampai di pos 1. Dari pos 1 perjalanan sesungguhnya
baru akan dimulai. Jalanan lebar mulai menghilang berganti dengan setapak kecil
yang mulai menanjak diantara lebat hutan.
Pada awal perjalanan
jalur langsung menanjak tajam membelah hutan yang masih rapat dan tampak
terjaga keasriannya. Fisik yang kurang berolahraga dibuat kepayahan menghadapi
jalur yang seperti ini. Pelan tapi pasti langkah kaki kami pun semakin jauh
melangkah. Diselingi dengan obrolan ringan dan canda tawa langkah kaki yang
awalnya berat menjadi semakin ringan dan melupakan beratnya jalur yang
membentang.
Dengan ditemani 2
orang guide salah satunya bernama Aris, akhirnya kami semua sampai di Pos 2
setelah berjalan kurang lebih 1 jam. Kabut masih setia menyelimuti dan
menemani. “Kalau lagi cerah dari sini pemandangannya indah banget mas, bisa
kelihatan laut juga di kejauhan” cerita dari seorang guide yang wajahnya sama
sekali tak nampak raut kelelahan.
“Gimana masih
semangat? Jalan lagi yukk….!!! Ajakku menyemangati yang lain.
Jalur setapak masih
tetap sama meliuk diantara hutan hutan lebat, namun kali ini tanjakan yang
disajikan lebih bersahabat dan terkesan datar. Langkah kaki kami pun semakin
cepat saja. Dalam hati aku ingin cepat cepat melihat bagaimana keindahan Desa
Adat Waerebo itu, sudah tak sabar rasanya. Mungkin rasa itu juga yang dirasakan
kawan kawanku yang lain saat ini.
Dan semakin tak terasa
akhirnya kami pun tiba di Pos terakhir sebelum benar benar masuk ke Desa
Waerebo. “Selamat Datang Di Waerebo” begitulah papan kayu besar itu tertulis.
Dibawahnya terdapat beberapa himbauan yang harus kita patuhi dan pahami.
“Tokk…tokkk…tokkk…tokkk…”
suara nyaring terdengar dari kentongan bambu di dalam pos yang Mas aris
bunyikan.
“Buat apa mas itu
dibunyikan?” tanyaku pada mas Aris yang masih memukul kentongan.
“Ini tanda
pemberitahuan untuk para penduduk di bawah sana, jika akan ada tamu yang datang
berkunjung”
Menarik pikirku,
suasana awal yang sangat membekas dihati. Kaki pun kami langkahkan mengikuti
jalur setapak kecil yang mengarah kebawah. Dalam perjalanan ke bawah kabut yang
semula pekat perlahan lahan terangkat keatas dan menampakkan keindahan Desa Waerebo,
sebuah desa yang berada diantara awan.
Nampak dikejauhan para
penduduk Waerebo sedang sibuk mempersiapkan acara untuk memperingati hari
kemerdekaan Indonesia yang ke 72 esok hari. Suasana tampak meriah daripada
biasanya di Desa Waerebo ini. Yang semula suasana terasa sepi kali terasa lebih
ramai karena para penduduk semua berkumpul ditambah tamu tamu yang ingin
merasakan suasana kemerdekaan di desa nan indah ini.
............
Indonesia
Raya
Merdeka
Merdeka
Hiduplah
Indonesia Raya
Indonesia
Raya
Merdeka
Merdeka
Tanahku
negriku yang kucinta
Indonesia
Raya
Merdeka
Merdeka
Hiduplah
Indonesia Raya….
Tak terasa air di pelupuk
mata meleleh membasahi pipi selepas lagu Indonesia Raya berkumandang. Perasaan bahagia,
haru, bangga, senang bercampur aduk semuanya. Karena tak pernah terbayangkan
sebelumnya jika hari ini tepat di Hari Kemerdekaan Indonesia aku bisa berdiri
di desa terpencil, jauh di pedalaman tapi tetap menjaga semangat dan juang
untuk Negara tercinta ini, Indonesia.
Upacara Bendera Di Waerebo (Sumber) |
“Terima kasih atas
kedatangan para tamu yang saya hormati disini. Dari ujung barat sampai ujung
timur kita semua ini adalah saudara. Dan disini di Waerebo semoga rasa akan
bangga akan Indonesia menjadi semakin kuat” sedikit kutipan dari pidato yang
disampaikan Pak Alex ketua adat Desa Waerebo. “Merdekaaa….. merdekaa….” Pekik kemerdekaan
membahana diseluruh penjuru langit Waerebo pagi itu. Bulu kuduk disekujur tubuh tiba tiba merinding
mendengar pekik kemenangan itu.
Pengibaran Bendera Di Atas Mbaru Niang |
“9 Tahun lalu Desa
kami Waerebo baru dikunjungi oleh anak bangsa negeri sendiri, sebelumnya hanya
orang luar yang datang kesini” begitulah penuturan dari Pak Rolasius salah satu
penduduk Waerebo. Kedatangan tamu pertama dari dalam negeri itu yang kini
menyelamatkan Desa Waerebo. Karena sebelum itu waerebo terancam kehilangan
Mbaru Niang yang menjadi identitas, karena mengalami kerusakan dimakan zaman.
Melihat kondisi Wae
Rebo yang sudah sekarat, pengunjung bernama Yori Antar dengan Yayasan Rumah
Asuh yang dimilikinya berupaya untuk mengembalikan keadaannya kembali sehat.
Bantuan dari swasta dan pemerintah serta beberapa donatur mulai mengalir,
mereka tergerak untuk menyelamatkan Wae Rebo.
Tahun 2010, dua rumah
kerucut yang sudah sekarat direnovasi. Selanjutnya tahun 2011 tiga rumah
kerucut yang sebelumnya hilang dibangun kembali. Akhirnya Wae Rebo memiliki
tujuh rumah kerucut lagi seperti sedia kala. Tahun berikutnya dua rumah lagi
direnovasi, sehingga sekarang ketujuh rumah ini dalam kondisi yang baik.
Dan kini semakin
datangnya para wisatawan adalah penyelamat dari Desa Waerebo itu sendiri. Wae
Rebo terus berbenah dalam menerima tamu. Untuk menata administrasi pariwisata
mereka membentuk Lembaga Pariwisata Wae Rebo (LPW). Dari lembaga ini ditentukan
tarif untuk bermalam di Wae Rebo sebesar Rp 250 ribu sudah termasuk 3 kali
makan. Jika tidak menginap pengunjung membayar retribusi Rp 100 ribu.
Sebagian orang
menganggapnya terlalu mahal untuk membayar sebesar itu. Tapi saya rasa uang
sebesar itu cukup wajar mengingat bahan makanan yang kita lahap saat di sana
harus diambil dari desa di bawah yang jaraknya sekitar 9 km lebih. Mereka harus
memikul beras dan kebutuhan pokok lain mendaki gunung untuk sampai kembali di
Wae Rebo.
Dan yang aku suka dari
Waerebo adalah mereka tetap senantiasa menjaga adat istiadat yang mereka
punyai. Mulai dari awal kita datang untuk melakukan upacara penyambutan,
larangan larangan yang tetap terjaga, hingga mata pencaharian mereka sebagai
petani kopi dan pengrajin kain songke pun seakan tak terpengaruh dengan
wisatawan yang lebih menawarkan peradaban. Semuanya berjalan seperti biasa dan
sewajarnya saja.
Aku sempat termenung
lama disebuah pelataran Mbaru Niang. Berimajinasi tinggi, ditemani matahari
yang sudah mulai meninggi. Aku berharap semua ini yang ada disini kedepan tetap
akan lestari. Karena dikesederhaan Waerebo aku melihat banyak kebahagian dan
kehangatan. Kisah kisah panjang disini seakan mengantri untuk aku ceritakan
kepada kalian kawan. Dan terakhir, coba langkahkan kaki kesini dan rasakan
kehangatan Waerebo.
0 komentar