Memacu Adrenalin Di Tanjung Ga'ang (2)
5/09/2018setapakkecil
Setelah berkunjung ke
Penangkaran Rusa dan Danau Kastoba pada cerita sebelumnya kini perjalanan kami
lanjutkan kembali menuju sebuah tempat di tepian laut bernama Tanjung Ga’ang.
Seperti namanya yang sebuah tanjung, tempat ini adalah sebuah deretan tebing yang
menjorok kelaut. Dan Tanjung Ga’ang ini adalah salah satu tempat yang tepat
untuk memacu adrenalin. Kita dapat melakukan Cliff Jumping dengan ketinggian
hampir 20 meter kebawah dan langsung bertemu dengan lautan biru.
Jalur menuju Tanjung
Ga’ang ini pada mulanya beraspal cukup lebar membentang membelah persawahan
hijau yang ada di Bawean ini. Beberapa menit jalur menyempit dan berubah
menjadi paving block dan tak lama setelah itu jalur tanah mulai menghiasi
sepanjang jalur.
Beberapa menit
berkendara kami pun menghentikan laju motor sesuai dengan arahan Mas Kaha. Kami
berhenti dahulu untuk mampir ke salah satu rumah penduduk yang kebetulan
mempunyai perahu yang biasa disewa orang orang yang ingin menuju Tanjung
Ga’ang.
Karena memang untuk
menuju Tanjung Ga’ang ada 2 opsi. Yang pertama adalah memakai motor, karena
jalur kesana sudah cukup jelas dan aman. Dan yang kedua bagi yang ingin
melakukan Cliff Jumping di Tanjung Ga’ang harus menyewa sebuah perahu, karena
memang akses ketika sudah terjun kebawah satu satunya hanya dengan perahu.
Tebing tebing karang tajam dan terjal tak mungkin kita daki untuk kembali ke
atas bukit. Satu satunya opsi yang cukup aman adalah adanya perahu yang siap
menunggu dibawah tebing, dan setelah melakukan cliff jumping perahu tersebut
akan mengantarkan kita menuju bibir pantai yang memungkinkan untuk perahu
bersandar.
Karena keadaan laut
yang saat itu sedang surut mau tak mau hanya kapal berukuran kecil yang sanggup
mengantarkan kami. Hanya 5 orang saja yang dapat dimuat, oleh karena itu kami
hanya memilih orang yang benar benar berhasrat dan punya keberanian untuk
terjun “Cliff Jumping” di ujung tebing Tanjung Ga’ang. Akhirnya aku, Fita,
Dika, dan Ujang saja yang akan menaiki perahu dari tepian kampung. Kawan
kawanku yang lain akan dipandu Mas Kaha menuju Tanjung Ga’ang menggunakan
motor.
“Perahunya yang disana
mas, jalan dulu saja, saya mau ambil dayung dulu dibelakang” kata bapak pemilik
perahu
“Ahh jauh sekali
perahunya, kita harus jalan lumayan juga nih” timpalku kepada Dika dan Ujang
yang nampak mengerjap ngerjapkan mata karena kepanasan dan silau akibat
matahari sore yang nampak sangat cerah sekali. Air laut yang surut hanya
tinggal semata kaki ini pun rasanya hangat karena terpapar matahari sepanjang
hari. Kamipun segera bergegas menuju perahu dan selang tak lama Bapak pemilik
perahu pun datang dan segera menyalakan mesin dan perahu pun menuju perairan
yang lebih dalam.
Ombak memang tak
begitu tinggi sore itu, namun tetap saja mampu membuat perahu kecil ini
terombang ambing, sesekali ombak pecah ketika menghantap sisi depan dari perahu
yang dibuat meruncing. Sedikit was was memang ketika menaiki perahu sekecil ini
namun bayangan Tanjung Ga’ang yang ada di depan sana menjadi penyemangat tersendiri.
Penasaran seperti apa yang namanya Tanjung Ga’ang itu, dalam hati pun bertanya
tanya apa nanti aku berani terjun dari ketinggian tebing karang itu?.
Air nampak berubah
menjadi hijau tosca begitu kapal mendekati Tanjung Ga’ang, air pun nampak
sangat jernih sehingga karang karang cantik yang ada dibawah permukaan air
dapat langsung kita lihat dari atas perahu. Karena memang air saat itu sedang
surut, perahu yang kami tumpangi pun nampaknya tak sanggup untuk mendekat ke
bibir pantai. Karena sebaran karang yang terlalu luas dan ditakutkan akan
merusak karang karang indah itu nantinya jika kami tetap memaksakan perahu
untuk menuju bibir pantai.
“Cuman bisa sampai
disini ya mas, harus jalan sedikit, tapi hati hati nanti Kena karang bisa rusak
dan bisa luka juga kakinya” Kata bapak pemilik perahu kepada kami berlima.
“Iya pak siapp”
sahutku meyakinkan
Tapi memang tak
semudah yang dipikirkan berjalan diantara karang karang dan ombak yang lumayan
kencang ini. Badan beberapa kali harus terjatuh, kaki kaki kami pun harus
waspada untuk memilih jalur yang benar. Kalau salah melangkah karang karang
tajam sudah siap menanti. Perlahan demi perlahan akhirnya kami pun sampai di
bibir pantai dimana kawan kawan yang tadi melalui jalur darat sudah menunggu
kedatangan kami.
Dari bibir pantai ini
perjalanan selanjutnya adalah harus melewati bukit bebatuan karang dengan batu
batunya yang sangat tajam. Di jalur ini kita sangat dituntut untuk ekstra hati
hati dalam melangkah. Karena kontur bebatuannya yang tak rata ditambah dengan
lubang lubang yang siap membuat kaki bahkan tubuh kita terjatuh kebawah.
Cukup sulit memang
melewati jalur bebatuan tajam seperti ini. Namun setelah sedikit perjuangan,
keindahan Tanjung Ga’ang seakan membalas semuanya. Dari tepian tebing terhampar
pemandangan indah nan menakjubkan. Tebing tebing karang gagah berpadu dengan
birunya lautan dan langit yang cerah mampu memberikan sebuah landscape
pemandangan yang sempurna pada sore itu.
Berjalan diantara bebatuan karang tajam |
Suara ombak yang
memecah karang pun terdengar seakan memberi salam kepada kami untuk segera bisa
merasakan kesegarannya dibawah. Oleh karena itu Aku, Dika, Fita, Ujang dan
Priyo segera berjalan kearah kiri menuju bongkahan batu besar yang menjorok
langsung ke lautan lepas. Bak seperti papan lompat di sebuah kolam renang, batu
inipun menjadi tempat yang sempurna untuk para penantang adrenalin melampiaskan
hasratnya.
Dari kejauhan Mas Kaha
pun mengacungkan jempolnya keatas, memberi kode bahwa tempat ini memang tempat
yang benar untuk melakukan “Cliff Jumping”. Begitu sampai di tepian tebing
aliran darah mulai berdesir, tekad yang tadinya bulat perlahan runtuh begitu
melihat tingginya jarak tebing dengan permukaan air laut dibawah sana. Keringat
dingin pun menetes perlahan di kening.
“Pakk… aman dibawah
sana? Dalam tidak airnya??” teriakku kepada bapak pemilik kapal yang kami
tumpangi tadi yang setia dibawah tebing menunggu lompatan kami.
“Dalam airnya, aman
mas, lompat sajaaa !!!” Balas pak pemilik perahu dengan teriakannya membalas.
“Duhh, aku takut kena
karang karang dibawah” dalam hati merutuk dalam hati.
Tiba tiba Dika dengan
mantap melangkahkan kaki menuju ujung dari batu tebing yang menyerupai papan
lompat itu. Kakinya bergerak perlahan sembari mencari ancang ancang untuk
segera melompat.
“Ati ati brooo… kamu
duluan deh baru aku nyusul” teriakku dari belakang.
“Ini tempat yang aku
cari cari, ayoo lompat !!!” teriak Dika berapi api.
Bagaikan anak kecil
bertemu tempat bermain, dan tanpa takut akhirnya Dika pun meloncat turun.
Dengan kecepatan kencang dan hanya beberapa detik saja, Byurrrr..Dika pun masuk
kedalam air, sepersekian detik kemudian kepalanya muncul dan berseru
kegirangan. “Amann… airnya dalam, cepet lompat !!”.
Melihat Dika yang
berhasil melompat ke dalam air dengan aman akhirnya keberanianku kembali
muncul. Aku coba untuk melangkah menuju ujung tebing. Semilir angin lembut
membelai tubuh ketika kaki sampai tepat di bibir tebing yang sudah tak
berbatas. Tiba tiba kaki gemetar melihat betapa tingginya tempat ini. Aku hirup
udara dan aku hembuskan pelan pelan sembari menguatkan tekad. Dan inilah
waktunya, kaki aku sentakkan dengan kencang dan tiba tiba detak jantung seakan
berhenti, rasa ngilu terasa di ubun ubun kepala hingga akhirnya tubuhku
menyentuh air. Byuuurrr….beberapa saat aku coba rasakan kedalaman hingga
akhirnya kepala keluar menuju permukaan, menghirup udara, dan merasakan detak
jantungku kembali berdetak. Adrenalin yang terpacu perlahan normal seperti
adanya. Ahh, sungguh sensasi yang luar biasa !!!.
Diatas perahu yang
bergoyang pelan ini senyumku tak berhenti untuk terkembang setelah merasakan
sensasi “Cliff Jumping” di Tanjung Ga’ang. Kini tugasku tinggal berteriak untuk
memberi semangat untuk Fita, Priyo, dan Ujang yang masih mencoba mengumpulkan
keberaniannya diatas tebing.
Setelah beberapa menit
Priyo akhirnya melompat dengan tenang disusul kemudian Fita yang walaupun pada
awalnya seperti aku sempat takut namun pada akhirnya sukses juga untuk
melompat. Berbeda cerita dengan Si Ujang, setelah kami semua melompat tinggal
dia yang nampaknya sangat ketakutan ketika sampai di Ujung Tebing. Teriakan
semangat dari kami di perahu maupun kawan kawan yang berada di belakang tebing
nampaknya tetap tak mampu meruntuhkan ketakukan dari Ujang. Menyerah adalah hal
logis yang dia pilih ketika ketakukan tak mampu ditaklukan.
Dengan kesenangan
kesenangan yang alam berikan membuat kami nampaknya sedikit melupakan waktu,
dan secara tak sadar matahari yang tadinya nampak bersinar sangat cerah kini
perlahan berubah pelan menjadi sendu kemerahan yang menandakan senja sebentar
lagi akan menyapa. Kamipun harus segera untuk kembali agar nanti tak bertemu
malam ketika di perjalanan.
Kapal perahu kecil ini
pun mulai bergerak menjauhi Tanjung Ga’ang. Tak ada yang berkata kata dari kami
berempat di perahu kala itu. Hanya diam, menikmati suasana senja yang alam
berikan. Deru mesin perahu memecah ombak tenang, dalam hati pun berkata tak
ingin rasanya senja ini berlalu begitu cepat untuk meninggalkan. Perlahan
lahan, kami serempak memandang senja kemudian melayangkan senyum untuk melepas
hari yang begitu menyenangkan.
(Bersambung)
1 komentar
senja memang slalu asik untuk dinikmati, tapi ada saatnya dia tenggelam dan menghilang
ReplyDeletetapi jangan khawatir besok masih ada kok hahahaa