featured
Mountaineering
Gunung Arjuno, Mencoba Jalur Purwosari Yang Penuh Misteri
8/07/2018setapakkecil
Arjuno Welirang begitu
aku mendengar namanya gambaran tentang kegagahannya selalu muncul di benak.
Begitu tinggi menjulang diatas 3336 mdpl untuk sang Arjuno, dan 3156 mdpl untuk
welirang. Penampakan 2 gunung ini pun sering muncul ketika pagi hari dan jelas
terlihat dari kotaku menetap yaitu Surabaya. Setiap menatapnya, kenangan
kenagan indah disana seakan kembali terbuka. Bagaimana indahnya Lembah kidang,
mistisnya Hutan Lali Jiwo, hingga kepulan asap kawah welirang yang memberikan
manfaat dari belerangnya. Dan dalam hati pun aku berkata aku pernah berdiri di
atas kedua puncak disana.
Walaupun sudah pernah
menginjakkan kaki dikedua puncak itu namun keinginan untuk kembali selalu ada
dalam hati. Bukan untuk sekedar pembuktian diri namun ada suatu perasaan yang
tak bisa dijelaskan kenapa aku selalu ingin menjejakkan kaki dan menapaki
lereng lereng dari Gunung Arjuno Welirang.
Hingga pada akhirnya
kesempatan itu kembali datang ketika kawan kawanku dari ibukota ingin merasakan
dan menaklukkan kegagahan Arjuno. Rasa antusias kembali membuncah hingga aku
menyarankan untuk melakukan pendakian melalui gerbang Purwosari. Sedikit
berbeda dari jalur yang biasa aku lalui yaitu dari Jalur Tretes.
Alasanku untuk mencoba
Jalur Purwosari ini adalah dengan banyaknya peninggalan peninggalan kerajaan
Majapahit pada masa lampau. Banyak sekali tersebar candi candi, petilasan
disepanjang jalur, sumber air pun lumayan banyak ditemui. Jadi sembari kita
mendaki kita setidaknya bisa sedikit melihat dan mengenal peninggalan
peninggalan dari para pendahulu kita.
Basecamp
Basecamp pendakian
Gunung Arjuno via Purwosari ini berada di Desa Tambakwatu. Untuk yang pertama
kali datang lebih mudah dengan mengetikkan “Parkir VIP Gunung Arjuno” pada
gadget masing masing dan tinggal ikuti arah saja sesuai petunjuk map. Dari
jalan raya Surabaya - malang sekitar 30 menit perjalanan menuju titik basecamp
ini.
“Mas, mbak.. kalau
bisa barang barang atau baju yang berwarna merah tolong dititipkan disini saja
ya..” Ucap Pak Pardi penjaga pos registrasi.
Full Team |
“Iya pak sudah kami
tinggal semua di mobil, aman” jawabku tersenyum
“Tapi… tas saya merah
pak..” sahut Vero waswas
“Ohhh iku gak popo
mbak, kan gak full merah ada warna warna lain”
“Lhooo ada aturan
merahnya yaa….” Sahut Vero sambil tertawa
“Pokoknya yang
dilarang itu Full merah mbak, merah darah gitu… kepercayaan digunung ini untuk
menghindari celaka dan untuk menghormati saja”
“Jalan dengan jumlah
ganjil pun sebenarnya dilarang mbak disini, tapi kalian pas ber 6 ini jadi aku
pastikan aman diatas nanti”
“Aamiin,…..” sahut
kami semua serempak.
Begitulah sedikit
percakapan yang sudah menyiratkan betapa Gunung Arjuno ini masih sangat kental
akan aroma kepercayaannya dan dipercayai turun temurun oleh semua warga yang
berada di kaki kaki Gunung Arjuno dan Welirang.
Pos 1, Goa Ontoboego
Berjarak tempuh
sekitar 60 menit dari Basecamp. Jalur untuk menuju kesini masih dapat dikatakan
landai dengan tanjakan yang belum terlalu curam. Jalur pun sangat lebar dengan
kiri kanan hutan pinus yang menjadi kanopi dari sengatan sinar matahari.
Begitu memasuki
kawasan Goa Ontoboego hutan pinus yang ada semakin merapat hingga menimbulkan
kesan adem dan asri. Sesekali bau dupa tercium dari beberapa sudut yang memang
nampak digeletakkan beberapa sesaji dari peziarah penganut kepercayaan
“Kejawen”.
Goa Ontoebogo ini
sendiri pada sebuah cerukan bebatuan yang terletak tak jauh dari hutan pinus. Di
depan gua tersebut terdapat sebuah pondok yang biasa digunakan oleh para
pendaki dan peziarah untuk melepas penat. Sebuah cungkup dengan arsitektur Jawa
tampak berdiri megah dengan altar berkeramik yang berada di sisi kiri cungkup
berukuran sekitar 6,5 × 6,5 meter.
Penamaan Goa ini pun dari kepercayaan masyarakat sekitar dari nama tokoh pewayangan bernama Sang Hyang Antaboga alias Sang Nagasesa. Sang Hyang anta boga berwujud seperti ular naga dan dikenal sebagai dewa penguasa dasar bumi. Ia mempunyai kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta.
Nama Antaboga atau
Anantaboga artinya (naga yang) kelokannya tidak mengenal batas. Kata ‘an’ atau
artinya tidak; kata ‘anta’ artinya batas; sedangkan kata ‘boga’ atau ‘bhoga’
atinya kelokan. Yang kelokannya tidak mengenal batas, maksudnya adalah ular
naga yang besarnya luar biasa.
Sebuah patung naga pun
dibangun oleh para pengurus kawasan ini tepat disamping Hutan Pinus di pintu
masuk. Patung ini mungkin sebagai gambaran bagaimana perwujudan dari Sang Naga.
Pos 2, Tampuono & Sendang Dewi
Kunti
“Pelan pelan saja,
kalau gak kuat ya istirahat dulu” ucap Pak Katijan seorang peziarah asal
Surabaya yang bertemu di Pos 1 dan kini berjalan bersama menuju Pos 2.
“Iyaa pak, kayaknya
badan kaget karena jarang Olahraga” Sahut Septi sembari terengah engah
kelelahan.
Usia dari Pak Katijan
aku perkirakan sudah lebih dari 50 tahun namun dari raut wajahnya tak
sedikitpun aku temui gestur kelelahan dalam dirinya. Badan kurus, tanpa jaket,
sandal jepit, tas punggung kecil dan tanpa air minum tapi jika sudah berjalan
kami ber enam yang jauh masih muda dengan mudahnya ditinggal oleh Pak Katijan.
Beberapa kali dia pun
berhenti untuk menunggu kita yang jauh tertinggal dibelakang. “Gimana masih
kuat?” sambilnya melemparkan senyumannya yang meneduhkan.
“Bapak kok kuat sekali
sihh jalannya?”
“Sudah biasa kesini
kok, dari tahun 80 aku sering bolak balik kesini, nanti istirahat dipondokan
saya di Pos Tampuono yaa” Celoteh sang Bapak kemudian kembali melesat menapaki
jalur pendakian yang mulai menanjak curam.
90 menit sudah
berjalan akhirnya kami tiba di Pos 2 bernama Tampuono. Keadaan di pos ini lebih
semarak dibandingkan Pos 1 tadi. Karena banyaknya pondokan para peziarah
disini. Beberapa warung pun nampak mudah ditemui. Dan tiba tiba hujan deras pun
jatuh akhirnya kami pun tunggang langgang masuk ke salah satu warung yang ada.
Jalur setelah Pos 1 |
Tampuono ini sangat
terkenal bagi para pencari ketenangan dan keheningan Gunung Arjuno. Ada
beberapa petilasan juga disini menjadikan tampuono salah satu pusat aktifitas
para peziarah. Petilasan yang pertama yakni petilasan Eyang Abiyasa dengan
jalan setapak yang ditata rapi dengan semen serta di kiri kanan jalan dibentuk
taman – taman yang sangat rapi dan bersih. Nama Abiyasa merupakan tokoh
pewayangan bergelar begawan yang dikenal sakti. Dalam cerita pewayangan, Ia
dipercaya sebagai orang yang menulis riwayat keluarga Barata.
Tak jauh dari
petilasan Eyang Abiyasa terdapat pula sendang Dewi Kunthi yang konon jika
airnya diminum dapat memberikan keluhuran jiwa serta selalu ingat Hyang Kuasa.
Di sini juga terdapat beberapa pondokan. Dewi Kunthi dalam dunia pewayangan
merupakan sosok perempuan cantik yang
merupakan ibu dari pandawa lima.
Dan tepat di depan
warung yang kami kunjungi terdapat petilasan Eyang Sekutrem. Lokasi petilasan ini dinaungi oleh pohon –
pohon besar sehingga terkesan wingit dan angker. Bangunannya berukuran 2,5m x
2m berbahan beton dengan lantai dan lapisan dinding yang terbuat dari keramik.
Konon, pengunjung yang ingin mendapatkan berkah, harus singgah di petilasan ini
lebih dulu. Di dalam petilasan, ada sebuah arca yang terbuat dari batu andezit
dengan tinggi sekitar 70 cm.
Di kawasan Tampuono,
kita akan merasakan susasana sejuk dan hawa dingin yang menyentuh kulit.
Suasana siang terasa pagi lantaran terik mentari terhimpit rerimbunan daun
pohon yang menghembuskan angin sepoi. Kita bisa melepaskan penat sepuasnya sebelum
kembali berjuang melewati jalur jalur untuk mencapai Puncak Gunung Arjuno.
Pos 3, Petilasan Eyang Sakri
15 menit berjalan dari Pos 2 kita dapat menemui Pos 3 atau petilasan Eyang Sakri. Pos yang mempunyai sebuah halaman luas dengan sebuah bangunan rumah yang terkunci rapat. Dapat aku perkirakan jika di dalamnya mungkin sebuah makam atau arca dari Eyang Sakri itu sendiri. Karena memang perjalanan yang masih singkat kami pun melanjutkan kembali pendakian.
Pos 4, Petilasan Eyang Semar
Sinar matahari mulai
temaram ketika langkah kami tiba di Pos 4 atau petilasan Eyang Semar. Disini
terdapat banyak pondokan persis seperti pada pos 2 Tampuono dibawah sana. Namun
yang sedikit berbeda pondokan disini berbentuk semi permanen dengan atas dan
dinding dari ranting dan alang alang saja. Namun cukup membuat hangat bagi para
peziarah yang bermalam di tempat ini.
“Sudah berapa lama
disini pak?” tanyaku pada salah seorang peziarah yang pondoknya kami singgahi
untuk beristirahat.
“Sudah 2 minggu lebih
disini mas” sahutnya sembari tersenyum
“Wahh lama sekali pak,
disini gitu ngapain saja pak?”
“Yaa menyepi, puasa,
sambil berdoa.. memang rata rata orang kesini lebih dari seminggu bahkan ada
yang tahunan juga” sahutnya kembali
Arca Eyang Sakri (Sumber) |
Konon katanya juga pos
4 ini merupakan tempat “Moksa” atau menghilangnya Eyang Semar yang merupakan
penasehat kepercayaan Raden Arjuno. Sebuah arca berselimut kain putih yang
menghadap timur yang dipercaya sebagai perwujudan Eyang Semar itu sendiri.
Pos 5, Makutoromo
Selepas Pos 4 jalanan
kembali menanjak tajam dengan kemiringan yang curam. 30 – 45 menit perjalanan
yang harus ditempuh hingga kami tiba di sebuah pelataran luas dengan sebuah
punden berundak yang berada tepat di tengah tengah. Kibaran bendera berwarna hijau
nampak menghiasi punden ini. sesaji dan dupa pun berderet mengelilingi punden
yang nampak sangat keramat ini. Konon di punden inilah dahulu Dewa wisnu sering
melakukan pertapaan. Arca arca pun sangat mudah ditemui di sekitaran.
Di pos 5 ini juga
merupakan pos paling ideal untuk mendirikan camp sebelum mencapai Puncak
Arjuno. Jarak dari puncak masih cukup jauh tapi adanya sumber air dan toilet
bersih menjadi nilai tambah untuk camp di Pos 5 ini. Bagi yang tak membawa
tenda pun sebenarnya terdapat banyak pondokan berukuran besar yang mampu
menampung puluhan pendaki.
Disaat langit cerah
seperti pada waktu itu. Bintang bintang pun menampakkan wujudnya dengan sangat
indah. Walaupun di Tampuono banyak berdiri pepohonan besar nyatanya di beberapa
sudut bintang bintang malah terlihat makin mempesona. Walaupun udara sangat
dingin kala itu, bau dupa pun semerbak tapi tekad tak ingin melewatkan momen
malam yang indah ini yang membuat aku bertahan untuk mengambil beberapa foto
malam di Tampuono.
Pos 6, Candi Sepilar
Tepat pukul 03.00
alarm berbunyi begitu kencangnya dari handphone. Walaupun malas tapi kami
memang harus bangun untuk bersiap siap melakukan “Summit Attack” ke Puncak
Arjuno. Karena memang menurut info jarak dari Pos 5 menuju puncak masih sangat
jauh sekitar 4 – 5 jam lagi. Maka dari itu kami harus bersiap dari semenjak
sebelum subuh.
Tepat pukul 04.00 kami
pun mulai melangkahkan kaki meninggalkan pos 5. Dan sekitar 5 menit berselang
kami sudah memasuki areal Candi Sepilar. 3 buah arca dengan wajah yang
menyeramkan menyambut kedatangan kami. Tepat di tengahnya terdapat sebuah jalur
menanjak, dengan bebatuan yang tertata rapi. Kami pun terus melangkah sembari
aku hitung arca yang berada di kiri dan kanan jalur. Tepat ada 9 Arca yang
mengapit jalur pendakian.
Dan konon menurut
beberapa sumber arca berjumlah 9 ini merupakan sosok yang menjaga daerah
Sepilar ini, dan tepat di batas jalur bebatuan ini terdapat sebuah deretan
patung yang melambangkan Pandawa Lima “Yudistira, Bima dan Arjuna” sedangkan
“Nakula dan Sadewa” telah hilang diambil para pencuri.
9 Patung penjaga "Pandawa Lima" |
Melangkah kembali
Candi Sepilar pun menampakkan wujudnya diantara keheningan malam. Terbuat dari
bebatuan andesit dan nampak cukup terawat baik. Aroma dupa pun kembali semerbak
dimana mana. Kami pun melanjutkan langkah, kembali menapaki setapak kecil
dengan Puncak Arjuno tujuan kita sebenarnya.
Pos 7, Jawa Dwipa
“Wahhh iya keren
bangettt…!!!”
Kami tiba di Jawa
Dwipa tepat beriringan dengan sinar matahari yang mulai muncul di ufuk timur.
Semburat cahaya jingga berpadu dengan sisa sisa kegelapan menjadikan sebuah
perpaduan siluet yang indah. Gagahnya gunung Semeru di seberang sana semakin
membuat pagi kala itu sungguh sempurna. Tak lupa kami bersyukur atas nikmat ini
semua. Di Jawa Dwipa ini juga tempat yang cocok untuk camp walaupun tak ada
sumber air disini tetapi jarak ke Puncak sudah semakin dekat.
Selepas Pos 7 vegetasi
mulai merapat dengan hutan pinus yang rindang. Sinar matahari seakan tertahan
dengan dedaunan yang ada menjadikan udara semakin sejuk dan dingin tapi jalur
yang ada semakin menjadi jadi. Dari kejauhan puncak ogal agil yang berwujud
runcing tajam sudah dapat kita lihat.
Jalur setelah Jawa Dwipa |
Sekilas nampak dekat
dan mudah untuk digapai namun kenyataannya hingga pukul sepuluh siang pun kami
tetap berada di dalam hutan pinus yang seakan tak berujung. Sedikit demi
sedikit melangkah namun apa daya tenaga yang semakin terkuras memaksa kaki
untuk berhenti. Apalagi kami belum mengisi perut semenjak malam tadi.
Plawangan
Jalur tiba tiba
menjadi landai menyusuri pinggiran jurang dan suasana pun menjadi panas karena
jalur sudah tak berada di dalam lingkup hutan pinus lagi. Pohon pohon cantigi
dengan padang rerumputan mulai menghiasi. Terdapat juga sebuah pertigaan dengan
jalur kekiri yang mengarah ke Lawang.
Aku sempat berhenti
sebentar dan mengamati jalur yang menuju kebawah itu. Nampak sangat terjal,
rindang dan mistis karena jalur langsung masuk ke dalam “Alas Lali Jiwo” yang
terkenal itu. Dan dari pertigaan mengarah ke kanan jalur kembali menanjak
dengan tajam.
“Mungkin ini yang
orang sebut sebagai plawangan mungkin ya?” tanyaku kepada kawan yang lain.
Percabangan Menuju Alas Lali Jiwo |
“Hmmm..mungkin…yuk
jalan lagi diatas sana kita buka bekal terus makan dulu”
“Iyaa laper banget
nihhh”
Jam tangan sudah
menunjukkan pukul sebelas siang namun udara sangat sangat dingin ketika kami
mulai makan dibawah pohon cantigi yang lumayan rindang. Tangan sampai kebas
kedinginan. Makan pun terasa kurang nikmat mungkin karena badan yang terlalu
lelah, perut pun hanya terisi sedikit saja. Tapi sudah cukup untuk mengisi
tenaga ke puncak.
“Seumur umur naik
gunung baru kayak begini nih ke puncaknya, jauhh benerr” ujar Kang Asep pelan.
“Ahh masa sih mas?”
Ujarku kaget mendengar perkataan dari pendaki senior yang sudah khatam 6 gunung
dari 7 puncak tertinggi di Indonesia (Kecuali Cartenz), dalam hati aku pun
tertawa.
Tapi memang Gunung
Arjuno “Luar Biasaaa”.
Puncak Arjuno (Ogal Agil)
Tepat pukul 12.00
siang dan dengan sisa sisa tenaga kami akhirnya sampai di Puncak Arjuno yang
biasa orang sebut Puncak Ogal Agil karena batu batu di puncak ini jika dilihat
dari bawah seperti bergoyang (Ogal Agil) jika tertiup angin. Bongkahan batu
batu berbagai ukuran tersebar di Puncak Arjuno. Melangkahkan kaki pun harus
tetap berhati hati jika tak ingin terpeselet dan terjatuh.
Sesampainya di puncak
aku tak langsung histeris untuk mengabadikan momen melainkan mencari tempat
untuk beristirahat sejenak, karena memang kali ini aku betul betul kepayahan. Kebetulan
ada satu sudut dimana bongkahan batu membentuk seperti celah sempit yang dapat
digunakan untuk berteduh dan beristirahat. Sekitar 5 menit aku memejamkan mata
namun udara dingin membuat istirahatku sungguh tak nyaman. “Daripada kedinginan
disini mending foto foto saja sekarang dan segera turun agar tak kemalaman
sampai di camp” pikirku.
Cuaca saat itu sedang
sangat terik namun tak terasa panas sedikitpun karena udara yang cukup dingin
saat berada di Puncak. Deretan puncak puncak lain terlihat begitu indah, mulai
Gunung Kembar 1, Kembar 2, dan Puncak Welirang yang selalu mengeluarkan asap
belerangnya dan jauh diseberang nampak gagahnya Mahameru yang berselimut awan. Melihat
kebawah nampak hijaunya Lembah Kidang yang berada diantara rimbunya hutan
pinus. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata dan ini pun menjadi salah satu
alasan kenapa aku selalu kembali dan rela bersusah payah untuk mendaki gunung.
Di Puncak Arjuno ini
pun terdapat sebuah mitos yaitu jangan sekali kali duduk di batu berbentuk
kursi kalau tak ingin celaka. Karena batu ini merupakan singgasana dari
penguasa Gunung Arjuno. Percaya tidak percaya sebenarnya tapi demi menghormati
semua yang ada aku pun mengindahkan aturan dari kepercayaan masyarakat
setempat.
Dibalik pemandangannya
yang aduhai dan cerita mitosnya puncak Arjuno pun tak lepas dari sesuatu yang
membuat miris hati. Batu Batu di puncak Arjuno ini penuh dengan coretan coretan
vandalisme dari para pendaki yang tak bertanggung jawab. Dan sampai sekarang
akal sehatku pun masih belum bisa berpikir.
“Apa yang mereka
banggakan dengan tulisan tulisan seperti ini?”
“Kenapa mereka sengaja
membawa pilox dan cat demi vandalisme di tempat seindah ini?”
Sebagian merusak namun
sebagian lagi ada yang peduli. Seperti saat itu ada beberapa sekumpulan pendaki
yang aku temui di Puncak Arjuno sengaja membawa perlengkapan untuk
menghilangkan vandalisme ini. Mulai dari tiner, hingga tabung gas untuk
membakar cat cat yang menempel di Batu.
“Bisa hilang ini mas
tapi harus sabar dan pelan pelan, karena vandalisme ini menggunakan cat yang
cukup tebal dan menempel di Batu Andesit” ujar salah satu pimpinan pendaki yang
aku jumpai disana.
“Butuh berhari hari
ini mas untuk menghilangkan semua, tapi saat ini kami lakukan semampunya saja
dulu, lumayan untuk dicicil dulu” sambungnya berkata.
“Iya mas asal enggak
ditambahin lagi sama orang orang gila yang bawa bawa cat kepuncak gunung”
sahutku sambil sedikit emosi.
“Iyaa semoga kedepan para
pendaki lebih sadar akan kelestarian lingkungan mas”
Dan banyak pelajaran
yang kami dapatkan ketika mendaki Gunung Arjuno kali ini. Terutama tentang perjuangan,
cerita cerita masa lalu dan sejarah tentang jalur pendakian, hingga pentingnya
kesadaran akan menjaga kelesetarian alam. Dan semoga apa yang kami jalani saat
ini membawa hikmah dan manfaat bagi masing masing pribadi.
Dan, kini saatnya kami
harus kembali turun.
Sampai jumpa lagi Arjuno,
terima kasih atas semuanya.
Catatan Pendakian
Basecamp – Pos 1 (Goa
Ontoboego) : 1 Jam
Pos 1 (Goa Ontoboego) –
Pos 2 (Tampuono) : 1,5 Jam
Pos 2 (Tampuono) – Pos
3 (Eyang Sakri) : 15 Menit
Pos 3 (Eyang Sakri) –
Pos 4 (Eyang Semar) : 1,5 Jam
Pos 4 (Eyang Semar) –
Pos 5 (Makhutoromo) : 45 Menit, sumber air terakhir ada di Pos 5
Pos 5 (Makhutoromo) –
Pos 6 (Candi Sepilar) : 10 Menit
Pos 6 (Candi Sepilar) –
Pos 7 (Jawa Dipa) : 2 Jam
Pos 7 (Jawa Dipa) –
Puncak Arjuno : 4 – 6 Jam
Pencapaian waktu tiap pribadi mungkin berbeda tergantung dari kondisi fisik masing masing
9 komentar
Segera bergabung di HASHTAG OPTION, Platform Trading FOREX berbasis di Indonesia.
ReplyDeletePILIHAN TRADER #1
- Tanpa Komisi dan Bebas Biaya Admin.
- Sistem Edukasi Professional
- Trading di peralatan apa pun
- Ada banyak alat analisis
- Sistem penarikan yang mudah dan dipercaya
- Transaksi Deposit dan Withdrawal TERCEPAT
Jika anda bingung mencari broker yang aman dan tercepat, anda bisa bergabung bersama kami.
Yukk!!! Segera bergabung di Hashtag Option trading lebih mudah dan rasakan pengalaman trading yang light.
Nikmati payout hingga 80% dan Bonus Depo pertama 10%** T&C Applied dengan minimal depo 50.000,- bebas biaya admin
Proses deposit via transfer bank lokal yang cepat dan withdrawal dengan metode yang sama
Anda juga dapat bonus Referral 1% dari profit investasi tanpa turnover......
Kunjungi website kami di www.hashtagoption.com Rasakan pengalaman trading yang luar biasa!!!
Luar biasa, menarik bngt cerita pendakian ini, jadi ingin mendaki gunung Arjuno.
ReplyDeleteTerimakasih penulis untuk cerita & info2nya
Tapi jangan lupa persiapkan fisik dan perlengkapan, karena jalur pendakian yang cukup berat
DeleteSalut buat pendaki2 yg sukses menuju puncak
ReplyDeleteterimakasih atas infonya
ReplyDeletestay safe untuk semua pendaki🙏🏻
kunjungi juga https://reyhanws.wordpress.com/
https://ppns.ac.id/
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya: Tshirt Dakwah Islam
ReplyDeleteMau Cari Bacaan yang cinta mengasikkan, disini tempatnya Cinta Karena Allah
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya: Tshirt Dakwah Islam
ReplyDeleteMau Cari Bacaan yang cinta mengasikkan, disini tempatnya Cinta Karena Allah
Mentok di pos 2 aja udah ngos2an,,nasib pendaki amatir mas..hahah
ReplyDeleteLovely bllog you have here
ReplyDelete