Mendaki Gunung Tambora
adalah suatu impian yang kini menjadi nyata. Bukan ketinggiannya yang aku incar
namun cerita dan sejarah letusannya dahulu kala yang bisa menggetarkan dunia.
Sebuah kebanggaan tentunya bisa menjejakkan kaki di Tambora, Gunung dengan
letusan terbesar kedua di Dunia.
Gunung Tambora yang
berada di Pulau Sumbawa ini dapat diakses dengan beberapa cara yang pertama
dengan cara angkutan darat dan yang termudah adalah dengan angkutan udara. Jika
melalui angkutan udara kalian bisa mengambil tujuan ke Kota Bima dengan
bandaranya yang bernama “Sultan Muhammad Salahudin”. Untuk penerbangan yang ada
pun cukup bervariatif dari berbagai kota.
Dan untuk menuju
Basecamp pendakian dari bandara Bima bisa menggunakan bis umum tujuan Calabai /
Pancasila (Berangkat dari Bima setiap jam 3 sore) atau dengan menyewa
kendaraan. Gunung Tambora mempunyai beberapa jalur pendakian resmi diantaranya
jalur Ndoro Canga, Ndoro Peti, Kawinda Toi, dan Pancasila. Namun dari semua
jalur yang ada, Puncak Tambora hanya dapat diakses dari Jalur Pancasila. Perjalanan
menuju Basecamp Pancasila ditempuh kurang lebih 4 – 5 jam dari Bandara Bima.
Dalam perjalanan menuju
Desa Pancasila panorama sepanjang perjalanan sungguh sangat memanjakan mata.
Jalur beraspal mulus dengan melewati lembah, perbukitan yang sangat khas
Sumbawa. Pada pertengahan perjalanan pun kami melewati sebuah padang savanna
sangat luas dengan latar belakang pemandangan Gunung tambora yang gagah dan
birunya warna laut Teluk Saleh di kejauhan.
Padang savanna nampak sangat luas dan kering di musim kemarau saat ini. Ratusan kerbau dan sapi nampak sangat bebas berkeliaran. Tak ada kandang dan pagar yang membatasi, mereka pun nampak sangat bahagia dengan kebebasannya. Savanna ini pun mungkin menjadi tempat penggembalaan ternak terbesar di Pulau Sumbawa.
Padang savanna nampak sangat luas dan kering di musim kemarau saat ini. Ratusan kerbau dan sapi nampak sangat bebas berkeliaran. Tak ada kandang dan pagar yang membatasi, mereka pun nampak sangat bahagia dengan kebebasannya. Savanna ini pun mungkin menjadi tempat penggembalaan ternak terbesar di Pulau Sumbawa.
Jam tangan tepat
menunjukkan pukul 22.30 ketika kami tiba di pelataran basecamp jalur pendakian
Pancasila. Pak Saiful Bahri sang pemilik Besecamp dan ketua perizinan pendakian
menyambut kedatangan kami malam itu. Pak Ipul sapaan akrabnya, mempersilakan
kami untuk segera masuk dan berisitirahat dalam pekarangan rumahnya yang dia
sulap menjadi kamar kamar homestay yang nyaman.
Pagi pun kembali
menyapa, kami segera bergegas berkemas untuk mempersiapkan pendakian di hari
pertama. Target kami hari ini adalah sampai Pos 3 kemudian bermalam sebelum
melakukan “Summit Attack” pada tengah
malamnya. Sebelum berangkat Pak Ipul menjelaskan kepada kami informasi tentang
jalur pendakian Pancasila. Berbekal informasi dari Pak Ipul kami mendapat
tambahan gambaran tentang jalur pendakian, ketersediaan air, dan info penting
lainnya.
Pak Ipul pun menambah
penjelasan jika jalur Pancasila merupakan jalur paling umum menjadi tujuan dari
para pendaki karena memang puncak tertinggi Tambora hanya bisa dicapai dari
jalur satu ini. Sedangkan Jalur lainnya hanya bisa mencapai bibir kaldera saja.
Hutan Rimba Menyambut
Perjalanan awal kami
menggunakan jasa bantuan ojek dari warga Desa Pancasila. Tujuan kami adalah
untuk menghemat tenaga karena Jalur Pancasila ini terkenal akan jalurnya yang
panjang. Dengan jasa Ojek kami bisa mencapai Pos Pintu Rimba dengan waktu tempuh
45 menit, namun jika berkeras untuk berjalan kaki bisa membutuhkan waktu 2 – 3
jam. Sebuah pemanasan yang sungguh berat bukan?.
Pendakian sesungguhnya
baru dimulai setelah bapak bapak ojek menurunkan kami di Pos Pintu Rimba. Hutan
lebat nan rimbun mulai menyapa dengan jalurnya yang mulai menanjak. Dalam hutan
vegetasi awal didominasi oleh pohon Binuang, Kelanggo, dan Walikukun. Pohon
pohon ini nampak berusia tua dan tinggi menjulang menjadikan sepanjang jalur
pendakian cukup teduh.
45 menit berjalan kami menjumpai Pos 1. Disini kami bertemu kawan kawan lokal yang berjaga dan bertugas untuk melakukan “Sweeping” terhadap para pendaki yang turun, karena pada saat itu banyak pendaki yang akan turun setelah merayakan tujuh belas agustusan di atas Puncak tambora.
45 menit berjalan kami menjumpai Pos 1. Disini kami bertemu kawan kawan lokal yang berjaga dan bertugas untuk melakukan “Sweeping” terhadap para pendaki yang turun, karena pada saat itu banyak pendaki yang akan turun setelah merayakan tujuh belas agustusan di atas Puncak tambora.
“Kemarin banyak sekali
yang bawa bunga Edelweiss mas” celoteh salah seorang penjaga di Pos 1.
“Apa alasan mereka
bawa turun Edelweiss mas? Sahutku bertanya.
“Katanya sih buat
lambang kesetiaan cinta dia sama pacarnya”
“Huaaahahahahaha” kami
semua spontan tertawa terbahak bahak mendengarnya.
“Tapi kami hukum itu
mereka, kami suruh kembali keatas dan membersihkan sampah di jalur. Sampai ada
yang menangis juga mereka kemarin ketika kami hukum”.
“Semoga hukuman itu
bisa memberikan pelajaran bagi mereka agar senantiasa menjaga alam dan tak
merusak apapun yang ada di atas Gunung Tambora, semoga kedepan kepedulian itu
bisa bertumbuh dalam diri mereka” timpalku mengakhiri.
15 menit kemudian kami
mulai kembali melanjutkan pendakian. Jalur selepas Pos 1 cukup datar dengan
sesekali tanjakan yang bisa kami toleran drajat kemiringannya dan cukup
bersahabat. Namun tidak dengan jarak tempuhnya jalur Pancasila ini cukup
panjang karena selepas pos 1 membutuhkan waktu 2 jam untuk mencapai Pos 2 dan 2
jam lagi untuk bisa menggapai Pos 3 tujuan kami hari itu.
Lebatnya hutan disepanjang jalur pendakian |
Dan selama itu hutan
rimba lebat seakan setia menemani langkah langkah mendaki hingga kami tiba di
Pos 3 tepat pukul 15.30 . Pos 3 ini merupakan tempat paling ideal untuk
bermalam sebelum menggapai Puncak Tambora. Karena di pos ini cukup luas dan
sumber air terakhir. Menurut informasi dari Pak Ipul di pos setalah ini
selanjutnya tak ada lagi ditemukan sumber air, yang ada hanya kubangan air
kotor yang terdapat di Pos 5.
Menggapai Puncak Tambora
Pukul 01.00 kami telah
berkemas. Segala perlengkapan pendakian hingga bekal biskuit, dan rendang telah
masuk dalam ransel masing masing. Kami yakin untuk mengapai Puncak Tambora kali
ini bakal tak akan mudah. Oleh karena itu kami mempersiapkan semuanya dengan
baik.
Tak seperti sebelumnya
jalur setelah Pos 3 ini di dominasi oleh tanjakan yang cukup curam dan berdebu.
Vegetasi yang ada pun nampak mulai berubah menjadi Pohon Pohon pinus diselingi
dengan tumbuhan perdu dan tumbuhan khas yaitu “jelatang”. Tumbuhan yang menjadi
momok para pendaki karena sengatannya yang menyakitkan jika tangkai atau
daunnya yang berduri tak sengaja tersentuh oleh bagian tubuh kita.
Berjalan semakin jauh,
dan semakin tinggi hutan hutan yang ada kemudian semakin merenggang berganti
dengan savannah dengan tumbuhan perdu pendek. Menjadikan angin bertambah
kencang, suhu pun terasa lebih dingin karena tak ada penghalang lagi disekitar
kami.
Jalur penuh dengan tumbuhan jelatang |
Pukul 03.00 perjalanan
mulai memasuki fase akhir dimana jalur yang sebelumnya tanah padat berubah
menjadi pasir pasir halus. Pasir pasir yang ada tak sama seperti di Gunung
Semeru, Jalur pasir di Gunung Tambora ini terasa lebih padat sehingga tak
terlalu menyulitkan kaki untuk melangkah. Kaki terseret, berjalan gontai, peluh
menetes membasahi wajah, deru nafas pun memburu. Tapi kemudian semua terhenti
ketika aku melihat memburat cahaya jingga nan indah mulai terlihat dari ufuk
timur. Perlahan lahan semakin cerah menggantikan malam pekat nan dingin. Lubang
berdiameter hampir 7 kilometer yang ada dihadapan pun mulai menampakkan
wujudnya. Pagi itu tepat di bibir kaldera aku terdiam, terpana, dan terpesona
akan kemegahan Gunung Tambora.
Dalam keheningan pagi aku terdiam dan termenung melihat kemegahan dari Kaldera Gunung Tambora. Cuaca nampak sempurna, tak ada kabut, langit begitu cerah, hembusan angin pelan menggoyangkan bunga bunga edelweiss yang tersebar di bibir kaldera. Sebuah atraksi alam yang sempurna dan membentuk sebuah perpaduan sempurna sebuah lukisan alam yang tak terperi indahnya.
Aku coba memejamkan
mata dan menikmati semua. Semua atraksi alam yang aku rasakan dan lihat ini
merupakan sebuah peninggalan dari masa lampau akan adanya sebuah bencana besar
yang pernah terjadi. Peninggalan bencana ini pun seakan memberikan pesan pada
siapa saja di masa yang akan datang untuk dapat mengantisipasi bencana dan
hidup berdampingan dengan semua itu.
Puncak Tambora ada di kejauhan |
“A Year Without Summer”
10 April pada tahun
1815 atau 203 tahun yang lalu. Gunung Tambora meletus dengan begitu dahsyat.
Suara gemuruh ini terdengar sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan
Maluku. Memuntahkan 160 kilometer kubik material abu, gas, dan batuan,
membentuk tiga kolom asap yang tingginya 43 kilometer menembus lapisan
stratosfer. Untuk sampai ke ketinggian itu, dibutuhkan energi letusan setara
dengan ledakan 171.500 unit bom atom.
Aliran piroklastik panas
mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa
Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar
sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Akhirnya letusan Tambora kembali mulai
mereda antara tangal 11 dan 17 April 1815 dan sekaligus melenyapkan tiga
kerajaan di sekitar gunung pada saat itu yaitu kerajaan Sanggar, Pekat, dan
Tambora. Tercatat lebih dari 90.000 jiwa menjadi korban keganasan dari letusan
Tambora. Ketika amuk mereda, tinggi gunung yang semula 4.300 meter tertinggi di
Indonesia tinggal tersisa 2.851 meter. Kaldera berdiameter 7 km menjadi saksi
bisu letusannya yang maha dahsyat
Debu vulkanik menyebar
setinggi puluhan kilometer mempengaruhi iklim seantero Bumi, menutup sinar
matahari selama berbulan-bulan lamanya. Bumi bagian utara dan selatan tetap
menjadi dingin. Di Eropa dan Amerika Utara pun matahari tetap tertutup debu
vulkanik dan membuat daerah tersebut tetap dingin walau dimusim panas. Jutaan
orang kelaparan, mayat terkapar bergelimpangan, semua akibat tumbuhan layu dan
mati tanpa adanya matahari sepanjang tahun. Salju tak kunjung cair, masa itu
dikenal dunia sebagai “Tahun yang tak melalui musim panas” atau “A year without summer”
Bencana Itu Memang Benar Adanya
Setelah cukup puas menikmati
Puncak Tambora dan mengabadikan kemegahan dari Kawah Tambora kami pun segera
bergegas kembali turun. Jalur cukup panjang maka dari itu kami berjalan pelan
dan santai menikmati semua panorama saat perjalanan turun.
Matahari bersinar
sangat terik, awan pun tak nampak sedikitpun, debu debu pun berterbangan
terkena hempasan angin yang bertiup cukup kencang. Setelah kembali memasuki
areal hutan langkah kakiku terhenti karena merasakan getaran yang cukup
kencang.
Pada awalnya aku
mengira tanah yang aku pijak kurang stabil tapi setelah melihat pohon, dan daun
daunan disekitar ikut bergoyang aku baru tersadar jika ini adalah gempa. Cukup
pelan memang hingga Vero, Andrian, dan Juli yang berjalan di depan tak tersadar
akan adanya goyangan gempa tersebut.
5 menit berselang
goyangan pun kembali terasa, bedanya kali ini terasa cukup kuat hingga kami ber
4 sempat berteriak “Gempa…Gempaa”. Berlangsung beberapa detik saja namun cukup
membuat bergetar isi hati untuk berdoa semoga di Suatu tempat dibawah sana tak
terjadi gempa yang seperti kami rasakan diatas sini.
Setiba di Pos 3 kami
pun segera bertanya kepada kawan kawan apa mereka juga merasakan gempa seperti
yang kami rasakan?. Ternyata mereka juga merasakan goyangan yang cukup besar. Hati
ini pun kembali gelisah apa dibawah sana juga terjadi gempa? Di Lombok,
Sumbawa, Atau dimana? Doa pun aku panjatkan sekali lagi semoga hal ini hanya
cukup kami yang merasakan disini.
Malam pun menjelang,
ketika jam di tangan menunjukkan waktu 22.58 tak disangka tanah disekitar pos 3
tempat kami menginap malam itu terguncang dengan hebatnya. Gemerisik pohon
disekitar menandakan adanya gerakan kencang, tenda tenda kami bergoyang goyang
mengikuti gerak arah tanah yang bergerak. Di beberapa sudut terdengar kawan
kawan berteriak "Gempaa..Gempaa"
Panik itu pasti, tapi
untuk membuka pintu tenda pun seakan tak mampu, tubuh hanya terdiam, dengan
mulut yang terus komat kamit membaca doa berharap tak ada pohon yang rubuh
menimpa tenda kami saat itu. Hingga beberapa saat gempa pun mereda, kami semua
terjaga di sisa malam. Dan benar saja gempa susulan terus menerus kami rasakan
hingga pagi menjelang namun dengan intensitas goncangan yang lebih rendah
Pos 3, tempat dimana kami diguncang gempa |
Hanya doa yang bisa
aku panjatkan saat itu hingga saat ini. Semoga negeri ini senantiasa diberikan
keselamatan dari bencana yang ada. Dari semua ini aku percaya jika Tambora dan
deretan gempa yang terjadi saat ini adalah suatu peringatan bagi semua. Bahwa
kita memang hidup berdampingan dengan bencana, tinggal bagaimana kita
menyikapinya dan cara menanggulanginya jika suatu hari nanti bencana itu kembali
lagi.
Full Team |
Catatan Pendakian
Basecamp Pancasila –
Pos Rimba : 45 Menit dengan ojek / 2 – 3 jam berjalan kaki
Pos Rimba – Pos 1 : 45
Menit
Pos 1 – Pos 2 : 2 Jam
Pos 2 – Pos 3 : 2 Jam
(Pos 3 Sumber air bersih terakhir)
Pos 3 – Pos 4 : 1 Jam
Pos 4 – Pos 5 : 1 Jam
(Pos 5 sumber air di dalam kubangan)
Pos 5 – Puncak Tambora
: 4 Jam
Untuk informasi pendakian dan homestay di Desa Pancasila silahkan langsung menghubungi Pak Ipul yang akan senantiasa membantu para pendaki yang akan melewati jalur Pancasila.
0 komentar