Gunung
Lemongan, memang sudah cukup lama aku tahu nama dan keberadaannya namun tak
pernah ada niat untuk berkunjung kesana. Hati ini seakan memilih gunung di
sekitarnya yang lebih familiar, sebut saja Gunung Argopuro atau Gunung Semeru
untuk didaki. Hanya sering kali aku mendengar kabar jika gunung setinggi 1651
mdpl ini mempunyai trek yang sadis dan tak kalah dengan gunung setinggi 3000
mdpl. Rasa penasaran yang akhirnya membawaku ke Gunung Lemongan, menapaki jalur
terjalnya, hingga cerita cerita miris tentang sosial yang berada di kaki kaki
Gunungnya.
Bulan januari
sebenarnya bulan yang kurang begitu pas untuk melakukan pendakian gunung. Cuaca
pada bulan ini cenderung ekstrim dan selalu hujan setiap hari. Hasrat untuk
berpetualang pun rasanya memudar dengan jatuhnya rintik hujan. Hingga sebuah
ajakan dari kawan lama Si Acen untuk mendaki gunung di sekitar Jawa timur.
Dengan tagarnya #30HariKelilingGunung Acen membawa semangat mendakiku kembali
memanas. Dia selalu meyakinkan mendaki gunung pada musim hujan seperti ini
relatif cukup aman jika dilakukan dengan cara “Tek Tok” atau mendaki naik turun
dalam sehari tanpa camp.
Dengan
beberapa pertimbangan aku pun menyetujui rencana Acen dan akan ikut dalam
jadwal dia mendaki gunung dalam #30HariKelilingGunung. Gunung pertama yang akan
kami daki adalah Gunung Penanggungan, namun karena cuaca buruk ketika kami
sampai di basecamp akhirnya kami pun memilih untuk tak melanjutkan dan langsung
beralih ke Gunung Lemongan.
Sebelum benar
benar pergi kami sempat observasi dahulu melalui @gunung_lemongan menanyakan
tentang status jalur buka atau tutup dan kondisi cuaca disana. Dan kemudian
meminta mas Putut Aditya selaku admin dari @gunung_lemongan untuk menjemput
kami esok hari di Klakah Lumajang dan mengantar ke Basecamp Gunung Lemongan.
Cuaca gerimis dan mendung tipis menyambut kedatangan kami di Lumajang pagi itu.
Dan ternyata Mas Putut dan kawannya Mas Mahmud sudah menunggu kami.
“Cuman 15
menit kok ke Basecamp mas, silahkan belanja logistik dulu atau sarapan mas, santai
aja” Ujar mas putut.
“Oke mas,
sembari istirahat aku mau beli sarapan dulu diseberang jalan” Sahutku menyaut.
Selepas
sarapan pagi dan berbelanja Mas Putut dan Mahmud pun menarik gas motornya untuk
mengantar kami. Dan ditengah perjalanan kami diajak berkeliling terlebih
dahulu. “Disini ada 13 ranu (danau) yang, mengelilingi Gunung Lemongan, kami
ajak lihat dahulu ya sayang jauh jauh kalau tidak lihat ranu ranu” seloroh Mas
Mahmud sambil bercerita pandang akan keindahan Kecamatan Klakah.
Indahnya Ranu Pakis |
Tak terlalu
jauh dari Ranu Pakis, sekitar 5 menit berkendara terdapat satu lagi ranu
(danau) yang sangat indah bernama Ranu Klakah. Danau satu ini nampak lebih
luas, tak ada keramba ikan, dan nampak lebih terawat karena memang Ranu Klakah
sudah dikelola menjadi tempat tujuan wisata. Namun ada satu yang paling
menakjubkan yaitu latar belakang ranu (danau) itu sendiri. Ya dibelakang sana
penampakan Gunung Lemongan yang tinggi dan meruncing tajam nampak menyambut
kedatangan kami. Mendung dan gerimis yang tadi menyambut telah hilang berganti
dengan penampakan Gunung Lemongan yang sungguh cantik.
Basecamp
Laskar Hijau
begitulah tulisan yang melekat pada rumah mas Ilal Hakim yang juga digunakan
sebagai basecamp dan tempat perizinan pendakian. Sepi, tenang, dan nyaman
sekilas terlihat dari basecamp ini. Di depan kaca jendela penuh dengan tempelan
tempelan stiker dari komunitas atau mapala yang sudah pernah berkunjung. Disamping
basecamp pun tertempel dengan jelas peta jalur pendakian dan himbauan untuk
para pendaki.
“Hari ini
cuman sampean berdua yang mendaki mas, enak lah sepi” Ujar mas ilal
Pasti sepi
karena kami mendaki pada hari kerja, dan tentunya jika weekend tiba jalur
pendakian pasti dipenuhi oleh para pendaki lainnya. Dalam hati aku bersyukur
jika sepi, karena lebih bisa menikmati nyanyian alam ketimbang nyanyian dari
para pendaki lain.
Tepat pukul
09.30 kami pun pamit kepada Mas Ilal untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tak
perlu berjalan kaki dahulu karena kami berdua akan diantar oleh Mas Putut dan
Mas Mahmud menuju Pondok Laskar Hijau yang berjarak 2 km dari basecamp, lumayan
untuk menghemat tenaga.
Cerita Miris Dari Lereng Lemongan
Ditengah perjalanan menuju pondok laskar hijau aku dikejutkan dengan
sebuah pos perizinan pendakian.
“Loh ini kok ada pos lagi mas?” aku bertanya Tanya pada Mas Mahmud.
“Ini dari Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) mas” sahut Mas Mahmud.
“Loh kok berdiri sendiri sih? Kok gak gabung saja pos perizinannya
dengan Laskar Hijau?” Tanyaku makin menjadi jadi.
“Iya mas, karena kami dimusuhi”
“Hahh kok bisaa??”
Usut punya usut ternyata banyak pertentangan dari masyarakat sekitar
dengan apa yang Komunitas Laskar Hijau lakukan. Gerakan ini bermula dari
keprihatinan. Hutan-hutan di sini habis. Itu berakibat pada turunnya debit 13
ranu di sekitar Gunung Lamongan. Saat ini Laskar Hijau fokus dengan pemulihan
kawasan hutan lindung di Gunung Lemongan. Melakukan reboisasi di kawasan hutan
lindung gunung Lemongan yang seluas 2.000 hektar yang rusak akibat illegal
logging yang terjadi pada kurun waktu 1998-2002.
Beberapa oknum masyarakat menuntut lahan lahan di lereng Lemongan agar
bisa dimanfaatkan menjadi lahan perkebunan Pohon Sengon yang bernilai jual
tinggi, dengan cara membuka lahan dengan membakar hutan lindung. Namun Laskar
Hijau menolak segala cara pengalihan fungsi hutan yang sudah ada apalagi jika
ditanami dengan sengon karena bisa menimbulkan sesuatu yang buruk kelak. Karena
pohon sengon walaupun memiliki harga ekonomis tinggi namun juga bisa membuat
kerusakan lahan. Tumbuhan tumbuhan di sekitar sengon akan mati karena akar dari
sengon sangat menyerap air, ditambah dengan akarnya yang kurang kuat
mencengkram tanah dikhawatirkan kelak bencana longsor akan lebih mudah terjadi.
Laskar Hijau selama ini berupaya menjaga dan menanami kawasan hutan
lindung ini dengan tanaman bambu dan buah-buahan agar ekosistem di Gunung
Lemongan kembali hijau. Nah, aktivitas Laskar Hijau ini oleh para perambah hutan
dan beberapa oknum tersebut dianggap sebagai hambatan bagi bisnis mereka,
sehingga hampir setiap tahun tanaman Laskar Hijau dirusak dan dibakar. Bahkan
pernah sekali kejadian pada tahun lalu Posko Laskar Hijau dirusak oleh beberapa
oknum masyarakat dan terjadi sebuah penganiayaan terhadap salah satu anggota
Laskar Hijau.
Mendengar cerita yang disampaikan dari Mas Mahmud dan Mas Putut ini membuat hari terasa miris dan teriris. Sebuah gerakan untuk melindungi alam dengan tujuan mulia malah menjadi sebuah bahan pertentangan diantara masyarakat, Birokrasi pemerintah yang dengan sengaja untuk merusak alam, hingga beberapa oknum yang ingin menguntungkan dirinya sendiri.
Mendengar cerita yang disampaikan dari Mas Mahmud dan Mas Putut ini membuat hari terasa miris dan teriris. Sebuah gerakan untuk melindungi alam dengan tujuan mulia malah menjadi sebuah bahan pertentangan diantara masyarakat, Birokrasi pemerintah yang dengan sengaja untuk merusak alam, hingga beberapa oknum yang ingin menguntungkan dirinya sendiri.
Jalur Neraka Pendakian Gunung Lemongan
“Ayo mulai berangkat, biar gak terlalu malam nanti pas kita turun”
Ajakku pada Acen dan Mas Putut yang ternyata turut serta untuk mendaki menemani
kami. Tepat pukul 10 pagi kami pun memulai langkah. Jalanan awal masih
membentang di dalam hutan hasil reboisasi Komunitas Laskar Hijau. Semakin jauh
melangkah jalur akhirnya terbuka keluar dari hutan dan didominasi oleh padang
ilalang hijau. Jika memandang ke depan Gunung Lemongan yang menjulang lancip
sudah dapat kita pandangi dengan leluasa.
Nafas mulai menderu, keringat pun berjatuhan akibat terik matahari yang
bersinar tanpa penghalang apapun. Jalur masih terasa landai dengan beberapa
tanjakan kecil sebelum kita mencapai Pos 1.
“Ini belum apa apa mas, nanti jalur sebenarnya setelah pos 2, jalur akan
terus nanjak sampai puncak” Kata mas Putut.
“Iya mas..itu di depan gunungnya lancip banget yaa” Dengan nada pesimis
melihat puncak yang begitu tinggi di depan sana, dalam hati pun aku bertanya Tanya
“Apa aku kuat sampai puncak??”.
Jalur pendakian yang ada di Gunung Lemongan ini pun beragam mulai dari
pada savanna kering, jalur berpasir yang mirip dengan Gunung Guntur di Jawa
Barat sana, jalur hutan basah dengan tanjakan yang luar biasa persis dengan
Gunung Latimojong dan satu hal yang selalu sama adalah tanjakan selepas pos 2
(Watu Gede) selalu memiliki kemiringan yang curam nan tajam.
Jalur bebatuan sisa dari erupsi masa lampau |
Guci untuk menampung tetesan air |
Ketika sampai di Pos 4 (Guci) kami dapat memenuhi botol air minum kami
yang telah habis, karena di pos 4 ini terdapat sebuah Guci penampungan tetesan
tetesan air yang merembes dari dinding tebing batu. Dari penuturan Mas Putut
tetesan air disini tergantung dari musim juga. Jika musim kemarau datang
tetesan air akan menjadi sangat kecil dan tak terkadang pula bisa kering. Oleh
karena itu para pendaki Gunung Lemongan disarankan untuk mempersiapkan
persediaan air mulai dari bawah.
1 jam lagi kita sampai puncak begitu kata Mas Putut begitu beranjak dari Pos 4. Namun jalur yang ada semakin menjadi jadi. Kemiringan semakin curam, kecepatan melangkah pun semakin melambat, ditambah kabut yang mulai mendekap. Berkali kali aku pun bertanya berapa lama lagi kita sampai di puncak, berkali kali juga Mas Putut menjawab “Sebentar lagi mas kita sampai”.
Dan akhirnya tepat jam 14.15 kami tiba di Puncak Lemongan yang ditandai dengan tiang besi dengan plakat bertuliskan Puncak. Kabut begitu pekat, angin pun begitu kuat menerjang, begitulah sambutan awal ketika kami bertiga sampai di puncak. Kawah Lemongan hanya terlihat samar dibalik pekatnya kabut. Kami benar benar memanfaatkan waktu untuk mengabadikan momen sebelum cuaca berubah menjadi semakin kelabu dengan hujannya yang begitu deras.
Puncak Lemongan |
Acen, Aku, dan Putut di Puncak Lemongan |
3 komentar
Sukaaaa baca cerita petualang..serasa ikut bertualang juga
ReplyDeleteWeee... cocok buat referensi ini mas.... jadi penasaran nih.. hahaha
ReplyDeleteMas acen dari jalan pendaki ini ya mas wkwk
ReplyDelete