Kebanyakan orang orang di sekitar Kota Malang dan Batu menamainya dengan
sebutan Gunung Putri Tidur. Karena memang gunung ini jika dilihat dari kejauhan
Nampak seperti orang yang sedang tertidur terlentang memanjang dari Kabupaten
Blitar hingga Batu. Dan bagian kepala dari bentuk orang tidur ini dinamakan
orang sekitar sebagai Puncak Buthak menjulang setinggi 2868 mdpl.
Sering aku datang ke Malang atau Kota Batu dan pasti pemandangan pertama
yang terlihat adalah megahnya Gunung Putri Tidur ini, dalam benak ada keinginan
untuk mencoba mendakinya sedari dulu. Namun nyatanya keinginan itu baru
terlaksana beberapa waktu lalu. Bersama beberapa kawan dan saudara kami
matangkan rencana untuk mendaki Gunung yang mempunyai jalur yang cukup panjang
ini. 2 hari 1 malam pun kami tetapkan untuk estimasi pendakian.
Basecamp pendakian sendiri berada di Desa Pesanggrahan, Kota Batu
berjarak sekitar 20 menit saja dari Alun Alun Batu, cukup dekat memang tapi
sebaiknya tetap memperhatikan kondisi dari kendaraan (Terutama motor matic yang
sering kejadian rem blong) karena jalur menuju basecamp di beberapa titik
terdapat tanjakan sangat tajam.
Basecamp dan perizinan pendakian Gunung Buthak menjadi satu pengelolaan
dengan pendakian Gunung Panderman, karena memang kedua gunung ini mempunyai
satu badan yaitu “Putri Tidur” namun mempunyai puncak yang berbeda. Basecamp
mempunyai lahan yang cukup luas untuk parkir kendaraan, beberapa gazebo dan
juga terdapat beberapa warung yang menyediakan makanan dan keperluan logistik
untuk para pendaki.
Gunung Butak - Panderman terlihat dari Kota Batu |
Persis di depan pos perizinan pemandangan aduhai pun sudah dapat kita
nikmati. Dari kejauhan Gunung Arjuno Nampak memamerkan kemegahannya, titik
pemukiman di Kota Batu pun nampak seperti hamparan rumah monopoli jika dilihat
dari ketinggian.
“Tidak usah bawa air banyak banyak mas, biar enteng” Begitulah kata
bapak penjaga pos perizinan kepada kami kala itu.
“Ada sumber air ya pak diatas?” Tanyaku ingin memastikan.
“Buanyakkk, bisa sampean buat renang juga..hahaha” Sahut sang Bapak
penjaga sambil tertawa tawa.
Jalur Pendakian Yang Panjang
Pukul 09.30 Perjalanan kami dimulai setelah melakukan doa bersama untuk
mengharap keselamatan dan kelancaran selama pendakian. Kami pun segera
melangkah menapai jalur lebar tepat disamping Pos Perizinan. Kira kira 100
meter melangkah jalur kemudian bercabang, dimana jalur ke kiri akan menuju
Gunung Panderman sedangkan ke kanan akan mengantarkan kami menuju Gunung
Buthak. Tak perlu takut tersesat karena di setiap percabangan sudah selalu
ditemui petunjuk arah yang jelas kemana kita harus melangkah.
Awal mula jalur masih berupa bebatuan bercampur tanah membelah
perkebunan warga. Aktifitas sepanjang jalur pun nampak masih ramai dengan lalu
lalang petani yang menggarap kebun, memotong rumput untuk pakan ternak, dan
sering kali juga kami harus menepi karena motor motor petani yang kebetulan
melintas di jalur pendakian. Jalur yang membentang pun tak bisa dianggap remeh,
nafas kami menderu, keringat mengucur deras, sungguh pemanasan yang sempurna.
Sejam berjalan kami akhirnya masuk ke pintu hutan. Jalur yang sebelumnya
lebar membentang kini mengecil, dan mulai menanjak tajam membelah diantara
semak semak perdu, fisik dan mental kini benar benar diuji. Setelah beberapa
saat tanjakan tajam itu akhirnya menemui ujung dan berganti dengan jalur yang
benar benar datar hingga bertemu dengan Pos 1. Inilah keasikan mendaki Gunung
Butak, jalur yang ada bervariasi mulai dari tanjakan hingga jalur yang benar
benar datar, tak akan pernah bosan kita dibuatnya.
Selepas pos 1 kita akan menemui sebuah tanjakan yang sering disebut
“Tanjakan PHP” oleh kalangan para pendaki. Karena tanjakan ini cukup panjang
tanpa bonus sedikitpun. Vegetasi memasuki tanjakan PHP pun mulai berubah yang
tadinya membentang melalui semak perdu kini berada diantara pohon pohon pinus
yang menjulang tinggi.
Nafas kian menderu, baju pun sekarang basah sempurna bermandikan peluh.
Namun pemandangan indah terselip diantara pepohonan pinus. Gunung Panderman
yang nampak lancip berdiri sendiri walaupun masih satu gugusan pegunungan
nampak sangat asri dengan penampakan hutannya yang masih sangat lebat.
Ketemu batang pohon mirip ular di tanjakan PHP |
1 jam menapaki jalur menanjak tiada habis akhirnya Pos 2 pun terlihat
dengan dataran cukup luas dan cocok untuk sejenak meluruskan kaki, beristirahat
setelah diuji dengan panjanganya “Tanjakan PHP”.
Selepas Pos 2 vegetasi kembali berubah kini jalur pendakian mulai masuk
kedalam hutan basah nan lebat. Sesekali kami harus menunduk atau meloncat
menghindari pohon pohon yang tumbang. Jalur yang ada pun relatif datar sehingga
kami dapat lebih menikmati pendakian, tak terkadang kami pun berhenti lumayan
lama untuk sekedar ber swa foto di spot yang kami anggap layak untuk diabadikan
dalam sebuah potret.
Ada satu hal lagi yang menarik di pendakian Gunung Butak ini adalah jika
pada musim yang tepat di jalur pendakian akan banyak ditemui tumbuhan Ciplukan.
Kami orang jawa menyebutnya ciplukan tapi entah apa namanya jika di Bahasa
Indonesia.
“Ini di supermarket bisa sampai 200 ribu lho sekilo” Ujar adeku Si Fita.
“Hahh…masak? Sebegitu mahalnya?”
“Iya beneran, buah langka mungkin” ujarnya kembali.
Akhirnya sepanjang kami menemui tumbuhan ciplukan ini kami banyak
berhenti dan memilah mana buah yang sudah masak untuk dapat kami makan. Sungguh
menyenangkan pendakian gunung kali ini.
"Gundah gulana akibat penat kota rasanya telah musnah, berganti rasa riang menikmati proses pendakian langkah demi langkah"
Tak terasa matahari pun semakin condong ke barat, cuaca yang tadinya cerah mendadak tertutup oleh kabut yang lumayan pekat. Kami tak tahu butuh waktu berapa lama lagi untuk sampai di Sabana tempat kami akan mendirikan camp nanti. Cemoro Kandang, begitulah nama hutan pinus ini yang aku baca pada plakat yang menempel pada salah satu pohon.
“Sabana masih jauh mas?” Tanyaku pada pendaki yang akan turun.
“Hmmm..sebentar lagi sih mas, paling 1 jam an lagi lah” Ujarnya sambil
berlalu.
Masih jauh juga pikirku, sembari kembali mengumpulkan semangat untuk
melawan fisik yang sudah terkuras akibat panjangnya jalur pendakian Gunung
Butak ini. Berjalan selangkah demi selangkah akhirnya rimbun pohon pinus pun
menjadi terbuka. Hamparan luas savanna terpampang jelas di depan mata, aku pun
berteriak “Horeee Sabana Butakkkk”.
Hampir 8 jam lamanya kami sudah berjalan. Hamparan padang rumput yang
mulai menguning seakan menari nari menyambut kedatangan kami. Sebaran pohon
edelweiss setinggi dada pun nampak tersenyum riang melihat wajah kuyu kami yang
kelelahan. Dari kejauhan disana nampak sebuah pancuran air dan sebuah sendang
atau danau.
Sabana Gunung Butak ini mengingatkanku pada sabana yang ada di Argopuro
sana namun ini lebih kecil dengan latar puncak Butak di kejauhan. Tak hanya
sabananya saja yang mempunyai kemiripan namun dari jalurnya pun seakan identic,
panjang dan jauh. Maka aku menyebut Butak ini sebagai Argopuro mini.
Rona Malam Yang Mempesona
Menjelang malam kami melakukan ritual masak memasak, segala sayur mayor kami
keluarkan dari dalam tas, kompor, nesting dan logistik lainnya. Banyak sekali
pikirku, terang saja semua keril yang kami bawa terasa berat dan penuh. Tapi
yang pasti kami akan pesta besar malam ini.
Dan enaknya juga ketika mendaki gunung bersama para kaum hawa adalah
mereka yang akan memasak semua makanan. Kami para kaum adam tinggal bantu bantu
sedikit saja dan kemudian menikmatinya.
Sembari menunggu masakan matang aku mencoba untuk keluar dari tenda dan
menikmati malam di Sabana Gunung Butak. Bulan purnama saat itu bulat sempurna, bak
lampu alami yang membuat seisi Sabana menjadi terang tak sekelam biasanya.
Kabut tipis datang dan pergi, membuat suhu semakin dingin saja aku rasa.
Detik detik demi berlalu, bintang bintang pun mulai menampakkan sinarnya seakan
tak mau kalah terang dengan sinar sang bulan. Tenda kami pun berpendar temaram
untuk menjadi pelengkap malam di Sabana Butak.
Sungguh komposisi yang menarik pikirku, tak membuang waktu aku persiapkan
kamera dan mulai membidik suasana yang akan aku bekukan dalam sebuah potret
foto. Hingga akhirnya dingin malam seakan memaksa kami untuk segera
beristirahat sebelum menjejak puncak Butak esok hari.
Menjejak Puncak Butak
Tepat setelah subuh kami mulai berjalan menahan suhu yang begitu dingin.
Dari tenda kami berjalan lurus melewati sumber air di Sabana mengikuti jejak
setapak kecil yang membelah luasnya sabana. Keadaan masih gelap saat itu, kami
harus benar benar memperhatikan langkah agar tak salah jalur.
Trek pada mulanya masih datar hingga akhirnya menemui ujung ketika kami
sudah kembali memasuki hutan pinus. Trek tiba tiba berubah menanjak tajam
sekitar 45 derajat. Lenguhan nafas kini mulai terdengar silih berganti. Pelan pelan
saja kami berjalan, beberapa kali pun berhenti untuk sekedar menghela nafas
bersiap untuk kembali memulai langkah.
Semakin keatas trek semakin terjal dengan bebatuan yang cukup labil jika
dipijak menuntut kewaspadaan ketika melangkah. Hingga akhirnya setelah 45 menit
jalur sudah menemui ujung dan menjadi sebuah dataran memanjang yang merupakan
Puncak Butak, puncak tertinggi dari pegunungan Putri Tidur.
Di batas horizon warna kemerahan dari sang surya telah muncul, menandakan pekat malam sudah purna tugas. Semua yang ada dihadapan pun perlahan menampakkan wujudnya menjadi siluet siluet cantik. Semakin lama warna merah keemasan mulai mendominasi, dan inilah waktu dimana warna warna ajaib dari alam itu muncul.
Pada sisi utara terlihat gunung Arjuno dan Welirang bak dua raksasa yang
menyembul di angkasa. Disisi timur terlihat juga Gunung Semeru dengan bentuknya
yang lancip dengan kepulan asapnya yang sesekali menyembul ke langit. Sementara
dari sisi barat terlihat kaldera lancip sang gunung paling mematikan di Pulau
Jawa yaitu Gunung Kelud.
Semakin beranjak siang lautan awan pun muncul dihadapan. Di titik ini
aku seakan tak bisa menerka batas antara bumi, langit, dan surga. Kaki masih
menjejak tanah namun langit seakan begitu dekat di kepala. Sungguh perasaan
yang tak bisa aku jelaskan dengan kata kata.
Terima kasih Butak, walaupun terasa berat kini kami harus turun
meninggalkan semua keindahanmu. Dan, sampai jumpa dilain waktu.
Experience Notes
- Persiapkan fisik dan perlengkapan karena jalurnya yang cukup panjang hingga mencapai Sabana.
- Bawa air seperlunya saja selama pendakian, karena di Sabana terdapat sumber air yang mengalir sepanjang tahun.
- Jalur pendakian paling umum adalah melalui jalur Basecamp Panderman, Kota Batu. Selain itu terdapat jalur Sirah Kencong, Jalur Gunung Kawi, dan Jalur Princi Dau.
- Bawa kembali sampah kalian turun.
1 komentar
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya: Tshirt Dakwah Islam
ReplyDeleteMau Cari Bacaan yang cinta mengasikkan, disini tempatnya Cinta Karena Allah